Persoalan kita adalah, walau kita menyadari diri milik Tuhan dan hidup kita akan berujung kekekalan di surga, kita masih hidup di dunia ini. Dunia ini menawarkan godaan yang sulit dihindari, yaitu hidup menurut ukuran dunia. Kekayaan menjadi tolok ukur kesuksesan. Kita mudah sekali terjerumus dalam mengumpulkan harta di dunia, dan melupakan panggilan surgawi, yaitu menabung harta rohani di surga.
Tuhan mengajarkan beberapa hal di dalam perikop ini. Pertama, harta di dunia ini bersifat sementara (19). Bukan tidak boleh mencari harta karena kita memang butuh harta untuk hidup di dunia ini, tetapi jangan jadikan harta segala-galanya. Jangan sampai kita tidak punya waktu untuk Tuhan, untuk mengumpulkan harta surgawi. Kedua, Yesus mengingatkan bahwa tawaran dunia untuk memprioritaskan pencarian harta bisa membutakan mata rohani kita dari melihat kebutuhan utama (22-23). Segala-galanya diukur dari harta. Waktu untuk keluarga digantikan dengan kemewahan. Waktu untuk anak dengan memanjakannya berlebihan. Bahkan waktu untuk Tuhan digantikan dengan memberi persembahan. Harta menjadi semacam sua untuk menggantikan tanggung jawab yang utama. Celakanya lagi, mata hati tambah buta sehingga menghalalkan cara demi mendapatkan harta. Ketiga, Yesus mengingatkan kita, kalau harta sudah menjadi tuan yang memperbudak kita, yang menyingkirkan Tuhan dari takhta hati kita maka kita harus membuat pilihan: kembali setia menyembah Allah atau tetap terjebak menuruti mamon (24).
Evaluasi ulang hidup Anda dan pandangan Anda terhadap harta. Jangan sampai Anda mengisi hidup ini dengan hal yang sia-sia, sehingga kehilangan damai, relasi yang baik, dan akhirnya menyesal berkepanjangan.
e-SH versi web: http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/01/11/
Berbagi di Facebook
0 komentar:
Post a Comment