Tuesday, November 30, 2010

Berhikmat dalam mengambil keputusan (2 Samuel 19:24-43)

Penyelesaian masalah tidak selalu berlangsung cepat dan mulus. Ada saja benang kusut yang harus diurai dengan hati-hati dan makan waktu, bahkan boleh jadi tidak tuntas.

Kasus Mefiboset adalah salah satunya. Daud bertemu Mefiboset yang mengadukan pengkhianatan hambanya, Ziba (26-27). Ziba memfitnah Mefiboset dengan mengatakan bahwa ia mau memakai kesempatan kalahnya Daud untuk mendapatkan kembali kerajaan ayahnya (2Sam. 16:3). Kelihatannya Mefiboset berkata jujur. Namun mungkin karena Daud sudah terlanjur mengambil

keputusan untuk memberikan semua milik Mefiboset kepada Ziba (2Sam. 16:4), Daud enggan untuk membongkar lagi masalah itu. Daud hanya memerintahkan supaya harta Mefiboset dibagi dua dengan Ziba (29). Bila Mefiboset berkata jujur, maka keputusan Daud jelas tidak adil. Namun Daud kelihatannya tidak perduli.

Lalu ada masalah lain yang lebih besar. Ayat 40-43 menunjukkan bahwa ada keretakan antara Yehuda dengan Israel (suku-suku utara). Israel mengeluh bahwa Yehuda mendapat tempat istimewa dalam mengawal Daud menyeberangi Yordan (41). Padahal Yehudalah yang pertama-tama mendukung pemberontakan Absalom. Yehuda pula yang terakhir mengakui Daud kembali sebagai raja. Maka menurut orang Israel, sungguh tidak pantas jika orang Yehuda mendapat hak istimewa itu. Sementara Yehuda sendiri merasa bahwa mereka adalah kerabat Daud sehingga mereka tidak menemui ketidakpantasan untuk mengawal Daud.

Sungguh banyak masalah yang harus diselesaikan oleh Daud, walaupun kasus pemberontakan Absalom telah berakhir. Untuk itu Daud harus bersikap bijak dan berpikir masak-masak sehingga tidak mengambil keputusan yang keliru, seperti yang pernah dia lakukan terhadap Mefiboset.

Namun bukan hanya raja yang perlu bersikap bijak dalam mengambil keputusan. Kita pun harus demikian. Maka sangat perlu bagi kita untuk meminta hikmat Tuhan sebelum mengambil keputusan, dalam hal apa pun.

Celik melihat Tuhan (2 Tawarikh 28:1-27)

Betapa jauh hati Ahas dari Allah. Kalau kita perhatikan kehidupan Raja Ahas, maka tak ada satu pun dari antaranya yang menunjukkan perhatiannya terhadap Tuhan, Allah Israel. Hidupnya bergerak hanya dalam kegelapan.

Ahas melakukan penyembahan berhala yang melibatkan ritual keji, yaitu dengan mengurbankan anak-anak (2-4). Sungguh mengerikan. Dia tak menyadari bahwa perbuatan yang menyakiti hati Tuhan itu akan membangkitkan murka-Nya. Tak heran bila Allah kemudian menghukum Ahas dengan membangkitkan raja Aram untuk menyerang dia (16-21). Namun hal ini pun tidak membuat mata Ahas

menjadi celik. Mata hatinya telah menjadi buta hingga tak dapat melihat bahwa Tuhan berada di balik semua itu. Malah tanpa merasa malu, ia mengharapkan pertolongan dari raja negeri Asyur (16-21). Suatu harapan yang justru kemudian berbalik menjadi bumerang bagi dia (20-21). Iman Raja Ahas pun makin terpuruk. Teguran dan hajaran Tuhan tidak membuat mata hatinya terbuka untuk melihat maksud Tuhan. Kegelapan hati justru membuat Ahas mengira bahwa raja Asyur menang karena pertolongan allahnya. Maka dalam kebodohannya, Ahas malah mempersembahkan korban kepada allah asing (22-25). Ironis sekali! Sungguh tak ada satu pun cerminan bahwa Ahas adalah anak dari Yotam, raja yang hidupnya berkenan bagi Allah.

Hidup Ahas menjadi suatu peringatan bagi kita. Bila tak ada satu pun peristiwa dalam hidup yang membuat mata hati kita terbuka untuk melihat bahwa ada maksud Tuhan di dalamnya, maka kita perlu waspada. Kita perlu memeriksa diri, apakah sesungguhnya kegelapan sedang menyelubungi hati kita, hingga tak dapat melihat satu pun karya Allah dalam hidup kita, walau hanya berupa suatu sentilan kecil. Bila hal itu yang sedang terjadi dalam hidup kita, datanglah pada Tuhan. Minta Dia menyingkapkan selubung itu dari hati kita agar kita dapat melihat Dia dan terbuka pada karya dan maksud-maksud-Nya di dalam hidup kita, bagi kemuliaan-Nya.

Pemimpin yang takut akan Allah (2 Tawarikh 29:1-36)

Keberadaan seorang pemimpin sangat mempengaruhi kehidupan orang-orang yang dia pimpin. Setelah dipimpin oleh Raja Ahas, yang hidupnya tidak menyenangkan hati Allah, Yehuda kemudian dipimpin oleh Hizkia, yang hidupnya berbeda jauh dibandingkan dengan hidup ayahnya, Ahas. Hizkia hidup dengan menyenangkan hati Tuhan.

Berbeda dengan Ahas, kita dapat melihat kasih Hizkia kepada Allah melalui perhatiannya pada bait Allah. Ahas telah menutup bait Allah (6-7) dan mendirikan pusat penyembahan kepada Allah lain di tanah itu

(28:24-25). Namun Hiz-kia membuka kembali bait itu dan memperbaikinya agar bisa digunakan sebagaimana mestinya (3, 5). Sebagai raja, ia ingin bangsanya kembali kepada Allah (10). Maka hal berikut yang dia lakukan adalah memerintahkan kaum Lewi untuk melakukan pentahiran bait Allah, termasuk perkakas yang dibuang pada masa pemerintahan Raja Ahas (11-18). Lalu ibadah pun dimulai. Korban bakaran dipersembahkan di atas mez-bah (24) dan puji-pujian bagi Tuhan dilantunkan (29-30). Semua rakyat bersukacita atas apa yang terjadi saat itu (36).

Sungguh besar pengaruh Raja Hizkia sehingga terjadi perubahan radikal dalam kehidupan rakyat. Bila sebelumnya rakyat berbalik dari Allah, kini rakyat kembali kepada Allah. Rakyat serta para pemimpin kota, para imam dan kaum Lewi, semuanya bergerak seiring dengan pembaruan yang Hizkia sedang kerjakan.

Kita tentu senang bila memiliki pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas. Visi dan misi yang mengarah pada suatu perubahan yang membawa pembaruan. Pembaruan untuk meninggalkan keterpurukan iman, untuk mencelikkan mata hati yang buta, yang mendorong hati untuk terbuka pada kasih dan karya Allah. Kita perlu berdoa agar bangkit pemimpin-pemimpin yang demikian di lingkungan gereja dan masyarakat kita. Kita pun perlu mempersiapkan orang-orang muda agar suatu saat kelak mereka menjadi pemimpin, yang bukan hanya ingin dihormati, tetapi yang melayani.

Meniru teladan (2 Tawarikh 27:1-9)

"Orang yang bijak adalah orang yang berhati-hati dan menjauhi kejahatan..." demikian kata penulis Amsal (Ams. 14:16). Maka dapat dikatakan bahwa Yotam termasuk orang bijak, sebab ia tahu membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Yang tidak benar harus dijauhi.

Uzia, ayah Yotam, adalah raja yang dapat disebut berhasil dalam kepemimpinannya. Ketika memerintah saat berusia dua puluh lima tahun, Yotam meneruskan apa yang telah dilakukan ayahnya, yang menurut catatan Alkitab, benar di mata Tuhan (2). Sama seperti ayahnya telah meniru teladan dari kakek Yotam, yaitu Amazia (2Taw. 26:4). Banyak hal yang Yotam lakukan dalam masa pemerintahannya (3-5). Alkitab

mencatat bahwa semua itu terjadi karena Yotam setia dan taat kepada Allahnya (6). Meski demikian, Yotam cukup kritis sehingga tidak menelan bulat-bulat apa yang dia lihat dalam hidup ayahnya. Dari bacaan kemarin, kita tahu bahwa Uzia, ayah Yotam, telah melakukan hal yang tidak disukai Tuhan. Setelah berhasil sebagai raja, Uzia merasa berhak masuk ke Bait Allah dan melakukan tugas imam. Padahal Tuhan mengkhususkan tugas itu hanya bagi para imam keturunan Harun (2Taw. 26:16). Maka dalam hal ini, Yotam menunjukkan perubahan dan kemajuan. Kita memang perlu bersikap kritis dalam mempelajari hidup seseorang, karena tak seorang pun yang sempurna. Yang patut menjadi cerminan kita hanyalah Kristus, Tuhan kita. Dialah yang sempurna dan mulia.

Namun sayang, dalam gambaran yang nyaris sempurna sebagai seorang raja, Yotam belum berhasil memengaruhi rakyatnya untuk hidup takut akan Tuhan sama seperti dirinya (2). Mereka tidak meniru teladan Yotam, raja mereka. Kita memang tidak bisa menyalahkan Yotam, sebab mungkin saja ia pernah berusaha melakukan pembaruan, tetapi rakyat berkeras hati dan tak mau bertobat. Ini menjadi catatan bagi kita, bahwa bisa saja orang yang kita bimbing tidak mengikuti teladan kita. Namun jangan sampai kita tawar hati, apa lagi mundur. Kita harus setia mendoakan mereka.

Thursday, November 25, 2010

Ketika Tuhan Meminta

Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: "Abraham," lalu sahutnya: "Ya, Tuhan." Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." Kejadian 22 : 1-2
Sering kali keinginan yang muncul dalam hati Anda terkadang merupakan cara Tuhan menaruh sebuah visi dalam hidup kita. Walaupun sepertinya keinginan tersebut sepertinya tidak berkaitan dengan panggilan kita, namun dalam perjalanan menuju penggenapan, maka kita akan menemukan bagaimana Tuhan menjalin semua itu menjadi sebuah kesatuan untuk menggenapi rencana-Nya dalam hidup Anda.
Namun dalam perjalanan menuju penggenapan janji atau visi itu, ada suatu saat dimana Anda mengalami seperti pengalaman Abraham. Saat Abraham sedang bersukacita dan menikmati waktunya bersama Ishak sang “anak perjanjian”, tiba-tiba Tuhan meminta agar anak tersebut dikorbankan dihadapan-Nya.

Bagaimana jika Anda menjadi Abraham? Mungkin Anda akan berkata, “Kok, Tuhan tega sekali sih.. Mengapa sesuatu yang sudah Dia berikan kok diminta lagi?” Namun tidak demikian dengan respon Abraham. Dia tidak mempertanyakan perintah Tuhan, karena dia percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Tanpa banyak alasan, dia menuju bukit pengorbanan itu.
Kata-Nya: "Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri--demikianlah firman TUHAN--:Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku." Kejadian 22: 16-18
Tuhan disenangkan dengan respon Abraham. Yang Tuhan minta dari Abraham sebenarnya bukanlah Ishak, namun hati Abraham. Tuhan menguji hatinya, apakah hati Abraham masih milik Tuhan atau milik Ishak. Tetapi Tuhan menemukan bahwa hati Abraham masih tetap tertuju padanya dan tidak teralihkan sekalipun ia dilimpahi dengan berkat yang melimpah. Bagaimana dengan Anda, masihkah hati Anda tertuju pada Tuhan? Ketika Tuhan meminta sesuatu yang bagi kita merupakan sesuatu yang sangat berharga, kalau mau jujur sering kali kita menolak, hati kita sakit, kita menjadi kecewa dengan Tuhan. Tapi biarlah melalui pelajaran mengenai Abraham ini menguatkan kita.

Ad by PromoteBurner.com'; } ?>
Sunday, July 11, 2010

Pemimpin yang dipimpin (Yehezkiel 48:21-22)

Kitab Yehezkiel adalah kitab terpanjang dari semua kitab di dalam Alkitab. Kitab ini merupakan salah satu kitab yang paling gamblang dalam pemaparan visualnya. Setiap penggambaran di dalam kitab Yehezkiel memiliki makna penting. Pemaparan tata letak Israel yang baru kini beralih pada perencanaan letak wilayah kerajaan.

TUHAN mengkhususkan satu blok wilayah di tengah Israel untuk kehidupan bersama. Ketujuh suku di utara dan kelima suku di selatan dipisahkan oleh satu strip wilayah yang terdiri atas wilayah kerajaan dan wilayah berbentuk persegi yang dikhususkan untuk TUHAN. Wilayah di tengah ini merupakan wilayah pemersatu dan fokus kehidupan Israel. Pusat kehidupan beragama, sosial, dan politik ada di situ.

Sebagaimana tata letak yang TUHAN berikan mengatur kehidupan Israel sebagai bangsa dan umat, begitulah TUHAN menghendaki agar jelas bagi semua orang ­keluarga kerajaan, seluruh rakyat, dan semua bangsa lain­ bahwa di Israel, kekuasaan tertinggi terletak pada TUHAN, bukan di tangan raja. Bisa saja TUHAN menyediakan dua

wilayah berbeda, satu dikhususkan untuk TUHAN dan yang lain untuk raja, tetapi itu bisa dimaknai sebagai pemisahan kekuasaan antara TUHAN dan raja, dua kekuasaan yang saling independen.

Raja adalah alat TUHAN untuk memimpin umat. Namun tidak terjadi pemisahan kekuasaan antara raja dan TUHAN. Raja mengatur kehidupan sosial-politik, dan TUHAN mengatur kehidupan beragama. TUHAN mengatur kehidupan raja dan melalui raja, TUHAN mengatur kehidupan rakyat. Raja harus tunduk kepada TUHAN. Itulah pesan yang hendak disampaikan melalui tata letak wilayah Israel yang berjenjang. Inilah tatanan sosial-kemasyarakatan yang baru, sebuah Israel ideal yang TUHAN janjikan kepada umat-Nya.

Jika TUHAN memercayakan kepada Anda tugas untuk memimpin orang lain, bagaimana Anda memposisikan diri sebagai pemimpin yang takut akan TUHAN? Bagaimana Anda mengizinkan TUHAN memimpin melalui jabatan Anda? Sumber E-SH

Pergumulan dan doa (Kejadian 32:22-32)

Ini episode mendebarkan dalam hidup Yakub! Akhirnya Yakub sadar bahwa bukan harta kekayaan atau istri dan anak yang dapat melindungi dia dari Esau atau yang dapat diandalkan menyelesaikan masalah lama itu. Ia sendiri harus bergumul dengan Allah untuk menyelesaikan semua itu!

Seseorang bergulat dengan Yakub semalaman sampai fajar menyingsing. Tidak dikatakan siapa orang itu, tetapi ada beberapa petunjuk untuk kita simpulkan. Sesudah bergulat tanpa bisa dihentikan, Yakub akhirnya sadar dengan siapa ia sedang bergulat. Ia lalu meminta berkat (26). Orang itu memiliki kuasa sehingga berhak menanyakan dan mengubah nama Yakub menjadi Israel, tetapi ônamanyaö sendiri tetap rahasia. Ia berhak memberi atau mengubah nama, Yakub tidak punya kuasa untuk mengetahui "nama"nya.


Jika Ia Allah, bagaimana mungkin Yakub kuat semalaman bergulat melawan Dia? Jika Ia Allah yang berdaulat mengubah nama Yakub jadi Israel, bagaimana mungkin Yakub sang-gup "memaksa" Dia untuk memberkati? Hos. 12:4-5 menegaskan bahwa "Ia bergumul dengan Malaikat dan menang; ia menangis dan memohon belas kasihan kepada-Nya. Di Betel ia bertemu dengan Dia, dan di sana Dia berfirman kepadanya: yakni TUHAN, Allah semesta alam, TUHAN nama-Nya."

Yakub perlu diubah dari mengandalkan kekuatan otot dan akal jadi bergantung pada anugerah dan berkat Allah. Jika ia yang penuh dosa sanggup bergulat dengan Allah, tentu karena secara misterius Allah yang yang melawan dia itu juga yang membantu dia bertahan. Kini ia tidak lagi mengandalkan keahlian manusia berdosa dengan mengatur tipu daya. Ia memohon Allah sendiri memberkatinya. Dalam pergumulan doa yang serius dan akhirnya membuat otot dan akalnya takluk, ia akhirnya sanggup memahami hakekat berkat dalam hidup. Dan saat itu ia diubah Allah menjadi Israel.

Ketika masalah terasa berat dan diri terasa lemah, bertekun dan bergumullah dalam doa, sebab Ia menanti dengan berkat-Nya dan secara ajaib melawan-membela kita!
Sumber : e-sh
Wednesday, July 7, 2010

Pelayan yang berempati (1Korintus 9:19-23)

Empati merupakan syarat mutlak bagi pelayan Tuhan. Paling tidak, itulah sikap dan tindakan Paulus sepanjang pelayanannya. Dapat dikatakan bahwa prinsip ini adalah sumber efektivitas pelayanan Paulus. Apa sebenarnya empati? Apa bedanya dari simpati? Akar dari kedua kata itu adalah pathos, dari bahasa Yunani yang berarti perasaan. Simpati adalah sikap yang membuat orang merasakan perasaan atau suasana batin orang lain, sedangkan empati berarti sikap yang membuat orang masuk atau menempatkan diri dalam posisi orang lain sehingga ia memahami posisi dan kondisi orang tersebut.

Kepada orang Yunani, Paulus jadi seperti orang Yunani. Kepada orang bertaurat Paulus bagai Yahudi saleh yang menjunjung ting-gi Taurat. Terjemahan ke suasana sekarang, kira-kira begini: kepada orang Jawa, saya (nonJawa) jadi seperti orang Jawa (bahasa, cara berpikir, dll.). Kepada orang yang kritis, pelayan Tuhan berpikir secara kritis pula (Injil tidak gampangan). Kepada orang lemah, sang pelayan tidak datang sebagai orang sempurna tak ke-nal gagal atau masalah. Kepada orang kaya, pelayan Tuhan bersikap kaya juga (mungkin bukan kaya harta materi, tetapi kaya dalam anugerah-Nya yang melimpah). Kepada orang terpinggir (entah karena stigmam sosial, kemiskinan, dosa, dlsb.) sang pelayan datang sebagai anak hilang yang ditemukan Bapa surgawi yang murah hati.

Semoga contoh-contoh tadi menolong kita menyelami maksud Paulus: bukan menganjurkan sikap kompromis membunglon, tetapi sikap konsisten dengan Allah yang dalam Kristus menjadi manusia sejati. Inkarnasi Kristus yang sesungguhnya lebih dalam dari empati, itulah sumber dari prinsip pelayanan Paulus. Dengan berinkarnasi Kristus menjadi sesama manusia. Ia berkawan dengan pemungut cukai, pelacur, tanpa ikut terseret arus dosa mereka. Ia menyentuh orang kusta, orang sakit pendarahan, tanpa dinajiskan tetapi merangkul, menerima, memulihkan mereka jadi utuh seperti rencana Allah semula. Dengan kata lain, kelimpahan anugerah Allah membuat pelayan Tuhan berempati, yaitu berbagi apa yang ia miliki kepada orang yang tidak memiliki, tetapi juga memikul beban orang lain sehingga orang itu diringankan. E-SH

Allah Terus Mengikuti (Kejadian 31:1-21)

Jika Anda adalah Yakub yang mengalami empat belas tahun masa sulit dalam kerja keras tanpa upah, apa yang akan Anda pikirkan tentang Allah? Percayakah Anda bahwa segala yang terjadi di masa itu merupakan penyertaan Allah?

Sesudah empat belas tahun Yakub jadi pekerja keras berintegritas, barulah dibukakan bahwa selama itu Allah terus menerus menyertai dia. Hasil kerja Yakub yang menguntungkan Laban pun sebenarnya adalah bukti penyertaan dan berkat Allah. Penyertaan dan berkat Allah paling berharga adalah berbagai pelajaran yang harus Yakub terima, yang berpengaruh pada perubahan drastis dalam karakter dan tindak tanduknya. Sungguh penyertaan dan berkat terbesar Allahn bagi umatNya adalah ketika Ia memecah dan menggosok kita dari batu rongsokan jadi batu berharga yang gemerlapan.

Ada saat Allah menyertai diam-diam seperti Yakub alami empat belas tahun. Ada saat Allah membuat penyertaan-Nya nyata, yaitu saat Ia mengintervensi sampai sepuluh kali dengan mementahkan upaya Laban untuk tidak berbagi anak ternak kepada Yakub. Jelas bahwa "trik" bodoh yang terpikir oleh Yakub sesungguhnya adalah cara intervensi Tuhan. Di bolak-balik bagaimana pun oleh Laban, berkat Allah tetap jatuh ke Yakub. Dari kejadian ini terlihat kontras orang dunia yang terikat harta dengan umat yang mengandalkan Tuhan.

Di puncak episode ini, Allah menjelaskan apa yang telah Ia lakukan kepada Yakub; mengokohkan panggilan dan berkat-Nya kepada Yakub sebagai penerus kakek dan ayahnya. Sangat mengharukan ketika Allah menegaskan bahwa Dialah Allah yang menyatakan diri kepada Yakub di Betel. Empat belas tahun Allah mengikuti Yakub, tetapi sampai detik genting itu belum juga keluar pengakuan Yakub bahwa Allah kakek dan ayahnya adalah juga Allahnya pribadi. Allah mengejar Yakub dan menunggu sampai pengakuan itu lahir, tanda bahwa relasi sedang terjalin!

Dalam rencana Allah, berkat sesungguhnya adalah relasi dengan Allah, bukan sekadar berkat moral atau material. E-SH
Tuesday, July 6, 2010

Pembelaan Allah dan Pembelaan Yakub (Kejadian 31:22-42)

Bagaimana kita harus menghadapi tuduhan dan tekanan dari orang yang membuat banyak masalah agar kita tidak terprovokasi? Sejauh mana kita patut memaparkan kebenaran kita kepada orang yang telah bersalah kepada kita?

Tanpa Yakub berbuat apa pun, Allah sendiri membela dia. Allah menampakkan diri kepada Laban dan memberi peringatan keras agar tidak bersikap macam-macam dan mengucapkan perkataan yang tidak pantas kepada Yakub. Bisa kita simpulkan bahwa peringatan keras ini harus Allah tegaskan karena Laban adalah tipe orang yang keras dan berkata seenak perut sendiri. Bahkan sesudah endapat peringatan pun, semua tuduhan yang ia lancarkan kepada Yakub masih terasa menekan. Melalui peristiwa ini Yakub sekali lagi mengalami bagaimana Allah memihak dia. Sebab Allah punya rencana agung melalui dia, dan Allah ingin agar Yakub masuk dalam relasi yang hidup dengan-Nya.

Ada tiga tuduhan Laban. Pertama, Yakub melarikan diri. Kedua, ia lari diam-diam. Tersirat bahwa Yakub dianggap melarikan harta yang masih dianggap milik Laban. Ketiga, Yakub mencuri sesembahannya. Semua tuduhan itu tidak benar kecuali yang ketiga, tetapi yang mencuri pun bukan Yakub melainkan Rahel. Yakub sudah meminta izin untuk kembali ke tanah leluhurnya, maka tuduhan bahwa ia lari tidak benar. Yakub memang merancang kepergian diam-diam sebab Laban menunjukkan gelagat tidak rela melepas.

Menghadapi tuduhan ini Yakub, yang sebetulnya berwatak lembut dan sudah berubah karena pembentukan Ilahi, terpancing membela diri dengan nada marah. Ada tempat untuk membela diri dan marah karena alasan yang benar, maka Yakub menelanjangi ketidakadilan Laban. Yang indah, di bagian akhir pembelaannya secara tersamar Yakub mengakui campur tangan Allah membela dan memelihara dirinya.

Tuduhan tidak adil yang harus Yakub tanggung, dan mungkin kita alami juga, dapat menjadi alat Allah untuk membimbing ke dalam relasi yang hidup yang Ia inginkan. E-sh
Monday, July 5, 2010

Menghapus noda dengan noda? (Kejadian 34:1-31)

Noda yang sangat mengguncangkan kehidupan keluarga Yakub terjadi karena Dina, putri Yakub satu-satunya, diperkosa oleh Sikhem, anak Hemor, raja orang Hewi. Seharusnya sebagai pendatang, tidak pada tempatnya Dina yang baru berusia sekitar 15-16 tahun itu berjalan-jalan untuk melihat (dan dilihat) orang yang belum dikenal. Prinsip pergaulan seharusnya ditanamkan dengan baik oleh ayah dan ibunya, tetapi tidak demikian rupanya. Maka terjadilah musibah itu. Sikhem melarikan Dina dan memperkosa dia. Meski Sikhem telah berbuat salah, tetapi ia jatuh cinta kepada Dina dan meminta izin untuk boleh mengawini Dina.

Sesudah terjadi musibah itu Yakub tidak mengambil tindakan apa pun. Ia mendiamkan perkara itu sampai anak-anaknya pulang. Reaksi anak-anaknya yang menganggap kehormatan keluarga telah ternoda oleh pemerkosaan terhadap Dina, bercampur antara sakit hati dan marah (7). Niat baik Sikhem dan lamaran yang diajukan ayahnya tidak dapat menghapuskan sakit hati anak-anak Yakub. Nyata kemudian bahwa sakit hati dan kemarahan tidak menghasilkan pertimbangan yang didasari oleh kebajikan dan kebijakan. Sebaliknya dari merespons dengan tepat, mereka melakukan rencana jahat. Mereka berpura-pura menerima permintaan tersebut, tetapi mengajukan prasyarat religius. Sikhem, Hemor, dan semua laki-laki orang Hewi harus disunat. Suatu permintaan yang terkesan benar karena mengatasnamakan aturan agama, padahal berisi tipu muslihat keji.

Setelah sunat massal dan saat semua laki-laki orang Hewi sedang kesakitan, Simeon dan Lewi menyerang mereka secara keji. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Orang-orang yang kesakitan sesudah disunat menjadi korban kekejaman Simeon dan Lewi. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga menjarah dan menawan anak serta perempuan orang Hewi.

Noda dapat dihindari dengan perilaku saleh. Namun saat noda terjadi, harus diatasi dengan motif dan tindakan benar, bukan amarah, sakit hati, dan memperalat aturan kesalehan! e-sh
Friday, June 25, 2010

Menghormati kekudusan Allah (Yehezkiel 46:19-24)

Sebagai rumah Allah, Bait Suci dibuat sedemikian rupa dengan memperhatikan kemahakudusan Allah. Bukan hanya pembagian pelataran, bahkan pembagian dapur pun dibuat dengan memperhatikan hal itu. Memang semua detail dalam rancangan Bait itu ditentukan
oleh Allah sendiri.

Ada dua dapur di Bait Allah yang diperlihatkan pada Yehezkiel. Satu untuk para imam dan yang lain untuk jemaat. Yang satu terletak di sebelah utara tempat kudus (ayat 19). Lokasi ini dipakai untuk memasak korban penebus salah dan korban penghapus dosa, serta untuk membakar korban sajian (ayat 20). Tugas memasak korban-korban tersebut dilakukan oleh para imam. Para imam juga diberi hak istimewa untuk menikmati bagian dari persembahan yang diperuntukkan bagi mereka. Dan dapur itulah yang menjadi tempat makan para imam. Posisi dapur tersebut memungkinkan imam untuk tidak bertemu jemaat agar mereka tidak mentransmisikan kekudusan kepada umat (bnd. Yeh. 44:19). Betapa agungnya kekudusan Allah hingga umat tidak bisa sembarangan memasuki tempat kudus-Nya, meskipun tempat itu hanya berfungsi sebagai sebuah dapur.

Dapur yang kedua terletak di pelataran luar, di keempat sudutnya. Yang memasak adalah petugas-petugas Bait Suci, suatu jabatan yang lebih rendah dari imam (bnd. Yeh. 44:11). Korban sembelihan dari umat Tuhan disiapkan di dapur ini.

Pembagian dua jenis dapur di Bait Allah dan berbagai aktivitas yang telah dirancang untuk dilakukan didalamnya, memperlihatkan adanya gradasi kekudusan seperti yang terdapat di pelataran. Ini mengajarkan tentang kekudusan Allah yang tidak bisa dibuat main-main. Tidak sembarang orang boleh memasukinya. Meski demikian kita juga melihat bahwa Allah bukanlah Allah yang tidak terhampiri. Ia ingin juga bersekutu dengan umat-Nya. Karena itu ada tempat yang disediakan bagi umat. Dari sini kita belajar bahwa ibadah di dalam berbagai aspeknya harus dilakukan dengan penuh penghormatan kepada kekudusan Allah.
Wednesday, June 23, 2010

Pelayan sebagai teladan (1Korintus 9:1-18)

Mengapa banyak pelayan Tuhan tak bisa memberikan teladan yang baik? Mengapa sulit menjadi teladan? Khususnya bila menyangkut sikap dan perilaku di seputar uang, harta milik, atau fasilitas.

Penyebabnya adalah karena yang bersangkutan tidak menempatkan hak dan pengorbanan secara tepat dan seimbang. Pertama, pelayan Tuhan harus hati-hati tentang haknya. Sifat dosa dapat membuat pelayan Tuhan egois sehingga bukan melayani sebaliknya menuntut pelayanan. Tak tertutup kemungkinan malah menjadikan Tuhan sebagai pelayan kepentingan dan kehormatan dirinya. Sebagai rasul, Paulus sebenarnya sudah berbuat sangat banyak. Secara manusiawi ia boleh disebut telah membuat jemaat Korintus berhutang Injil kepada Paulus. Maksudnya, pelayanan Pauluslah yang telah membuat mereka mengenal Kristus. Kegigihan dan
pengorbanan Paulus telah menghasilkan banyak karunia yang dinikmati jemaat Korintus. Maka sebenarnya Paulus berhak atas hal-hal yang wajar, seperti membawa istri, beroleh tunjangan hidup, tidak usah bekerja agar dapat konsentrasi pada pelayanan, dsb. Menerima hak secara wajar adalah prinsip pertama agar seorang pelayan Tuhan menjadi teladan. Hanya jika ia menuntut lebih dari yang wajar, maka ia jatuh ke dalam ketamakan, keegoisan, dan menimbulkan citra buruk.

Kedua, keteladanan juga menyangkut kesediaan berkorban. Hak wajar yang seharusnya Paulus terima telah ia korbankan untuk menunjang kemajuan pelayanan. Maka karena tak beristri, ia tak perlu ongkos ekstra atau berbagi perhatian. Karena bekerja, ia tidak bergantung secara finansial pada dukungan pihak lain. Paulus meninggalkan keteladanan yang sangat terpuji. Namun di sini kita harus hati-hati. Berkorban berlebihan dalam pelayanan pun dapat membuat pelayan Tuhan meninggalkan teladan buruk. Jika pelayan Tuhan bekerja berlebihan sampai sakit-sakitan, misalnya. Atau sampai membuat anak-anaknya kehilangan ayah atau ibu karena mereka tidak punya waktu.

Maka layanilah Tuhan dan sesama dengan menjadi teladan, yaitu dengan membatasi hak dengan pengorbanan, pengorbanan dengan hak, secara
seimbang. Sumber : E sabda
Thursday, June 17, 2010

Pemberita dan Pelaku Injil (Kisah Para Rasul 19:1-12)

Sudah berapa lama Anda menyatakan diri sebagai orang Kristen? Apakah Anda memiliki sebuah hubungan pribadi yang indah dengan Dia? Menepati janji untuk kembali ke Efesus jika Tuhan menghendaki (Kis. 18:21), Paulus datang setahun kemudian ke kota itu. Di situ ia menemukan dua belas orang murid (1, 7). Namun ketika Paulus berbicara dengan mereka, ia merasakan sesuatu yang janggal sampai akhirnya ia menanyakan apakah mereka pernah mendengar tentang Roh Kudus (2). Ternyata belum. Mungkin mereka mengenal dan percaya pada Mesias secara umum saja, yakni berdasarkan penyataan yang tertulis dalam Perjanjian Lama. Atau paling jauh, pengenalan berdasarkan khotbah Yohanes Pembaptis. Kita tentu masih ingat bahwa seperti ini jugalah keadaan Apolos sebelum ia bertemu dengan Akwila dan Priskila. Maka seperti Akwila dan Priskila mengajar Apolos, begitu pulalah Paulus mengajar kedua belas orang tersebut. Lalu ketika mereka percaya, mereka semua menerima Roh Kudus (4-6), sama seperti orang-orang percaya di Yerusalem pada peristiwa Pentakosta (Kis. 2), atau peristiwa di Samaria (Kis. 8), atau di Kaisarea (Kis. 10).
Injil memang perlu disampaikan kepada orang-orang yang belum pernah mendengar, tetapi kita juga telah mempelajari bahwa Injil juga perlu diberitakan kepada orang-orang yang belum memahami bahwa orang perlu diperdamaikan dengan Allah melalui Anak-Nya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Hanya melalui Kristus saja orang dapat diselamatkan dan memiliki hubungan baik dengan Allah. Dan bila orang menerima keselamatan maka pada saat itu ia akan menerima Roh Kudus. Sebaliknya menerima Roh Kudus merupakan tanda bahwa seseorang telah diselamatkan.

Tentu saja orang yang mengalami kehadiran Roh Kudus akan terlihat nyata dalam kehidupannya. Bagaimana dengan hidup Anda? Akankah orang melihat kehadiran, damai, dan kuasa Roh Kudus dalam hidup Anda? Ataukah bila melihat Anda, orang masih meragukan ada Allah dalam hidup Anda?
Sumber : E-SABDA
Wednesday, June 16, 2010

Karena Engkau, Aku Menanggung Cela (Mazmur 69:1-19)

Ada seorang ibu yang banyak menderita. Ia pernah mengalami sakit hebat karena kecelakaan saat mengerjakan urusan rumahtangga. Ia pernah menderita fisik karena harus bekerja keras mencari tambahan nafkah sesudah suaminya pensiun. Ia pernah mengalami ketidakadilan. Puji Tuhan, dalam anugerah ia dapat mengatasi semua itu.

Pemazmur menderita lebih berat lagi. Penderitaan apakah yang dia gambarkan sebagai banjir atau rawa yang membuat dia nyaris tenggelam (ayat 2-3)? Yang membuat ia berdoa tanpa henti dan karena begitu sering berkeluh-kesah membuat kerongkongannya kering dan matanya nyeri (ayat 4)? Ia sadar bahwa ia adalah manusia biasa yang berdosa (ayat 6). Namun jelas bahwa penderitaan yang dia tanggung bukanlah hukuman Tuhan atas dosa-dosanya. Ia menderita karena keberpihakannya kepada Allah membuat orang membenci dia. Dan dunia ini kejam sekali. Mereka berkomplot melawan orang yang mengasihi Allah (ayat 5). Bahkan, entah karena ikut berkomplot atau karena takut terkena "getah," sanak saudaranya ikut membuang dia (ayat 9). Itulah penderitaan terberat, karena orang-orang terdekat menganggap dia sebagai orang berbahaya dan harus disingkirkan. Ia juga jadi objek sindiran (ayat 13).

Penderitaan, dalam terang Alkitab adalah senjata Allah menangguhkan iman (lih. Rm. 5:3-5; 1Ptr. 1:6-7). Dalam hal pemazmur, penderitaan membuat dia rindu akan pemulihan rohani yang bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Ia mengharapkan pelepasan supaya orang beriman lainnya tidak tawar hati (ayat 7). Namun berkat terindah dari menanggung cela karena Allah ialah penegasan iman kepada perkenan Allah, kasih setia-Nya, dan pertolongan-Nya (ayat 14). Irama sumbang para pengejeknya kini menyingkir menjadi latarbelakang yang tak berarti. Orang yang menderita ini masuk ke dalam hadirat kasih anugerah Allah yang ajaib. Kepada Allah, ia mempertaruhkan kasusnya. Dari Allah, ia beroleh peluputan yang mengalir semata dari anugerah perjanjian Allah yang terpercaya!
Sumber : E-Sabda
Saturday, June 5, 2010

Memancarkan karakter Allah (Yehezkiel 48:1-8)

Tanah Israel dibagi dengan cara yang berbeda dibandingkan sebelum pembuangan. Ada pola yang sangat konsentris di dalam sistem pembagian itu. Tiap suku mendapat wilayah yang memanjang dari tepi Barat hingga tepi Timur wilayah yang baru. Suku Dan menempati wilayah paling utara. Tiga suku yang pertama disebut berasal dari para budak. Manasye dan Efraim adalah anak-anak Yusuf. Ruben adalah putra sulung Yakub. Yehuda memperoleh tempat prestisius, yang berbatasan dengan tanah yang dikhususkan sebagaipersembahan untuk TUHAN, karena Mesias yang dijanjikan akan datang dari suku Yehuda.

Pembagian ini menunjukkan prioritas baru bagi Israel. Mereka akan hidup berdampingan dengan damai. Suku-suku besar tak lagi memanipulasi suku-suku kecil. Batas wilayah ditentukan sama rata (bnd. Bil. 33:54). Tiap suku mendapat wilayah yang mencakup pantai Laut Tengah di sisi barat, daerah pegunungan di tengah hingga perbatasan di timur.

Sesudah bagian Yehuda, ada satu bagian tanah yang secara khusus dipersembahkan kepada TUHAN. Bagian ini membagi Israel menjadi 7 suku di utara dan 5 suku di selatan untuk mempertahankan posisi wilayah istimewa ini di tempat Yerusalem berada. Hal yang sama juga mencerminkan pembagian Kerajaan Utara yang lebih besar dibandingkan Kerajaan Selatan sebelum Israel dibuang dari tanah perjanjian.

Seluruh aspek kehidupan umat diatur demikian demi kebaikan hidup bersama di antara suku-suku Israel. Juga agar keteraturan dan ketertiban yang mereka tampakkan memancarkan karakter Allah kepada bangsa-bangsa lain. Kehidupan umat TUHAN tidak pernah dimaksudkan melulu untuk diri sendiri atau untuk terfokus kepada TUHAN dengan cara picik.

Allah menghendaki agar kita pun memancarkan karakter-Nya melalui tiap aspek kehidupan kita. Adakah karakter Allah tercermin dalam hidup Anda? Dengan cara bagaimana keluarga, pekerjaan, pergaulan, pengelolaan keuangan, dan tiap aspek dalam hidup Anda mencerminkan karakter Allah?
Sumber : E SABDA
Tuesday, June 1, 2010

Kuasa kehadiran Allah (Yehezkiel 47:1-12)

Masyarakat pada masa Yehezkiel memahami bahwa Bait Suci berfungsi terutama sebagai rumah Allah, selain sebagai tempat beribadah. Dan ketika Allah hadir, maka berkat Tuhan menjadi nyata bagi umat-Nya.

Bait Suci yang digambarkan Yehezkiel tak pernah jadi kenyataan, tetapi gambaran yang diberikan mengenai sungai air kehidupan mengingatkan kita kepada Taman Eden di Kej. 2 dan kepada Yerusalem yang baru di Why. 22. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, kehilangan terbesar yang mereka alami bukanlah Taman Eden, mmelainkan hadirat Allah. Hadirat Allah inilah yang Yehezkiel lihat dijanjikan oleh Allah kepada Israel.

Dampak kehadiran Allah sangat dahsyat: air kehidupan mengalir ke wilayah Timur, menjadikan wilayah yang tidak subur itu menjadi tempat "amat banyak pohon" tumbuh subur. Bahkan Laut Mati akan penuh dengan kehidupan seperti Laut Tengah. En-Gedi dan En-Eglaim adalah dua wilayah permukiman di tepi Laut Mati, tempat di mana selama lebih dari 10.000 tahun terakhir masyarakatnya hidup dari bertambak garam. Namun Yehezkiel menyatakan bahwa masyarakat di dua tempat ini akan beralih menjadi masyarakat nelayan karena dahsyatnya sungai air kehidupan yang mengalirkan kehidupan ke salah satu habitat paling mematikan di muka bumi ini.

Bagaimana masyarakat itu akan memenuhi kebutuhan garam? Tuhan masih menyediakan deposit-deposit garam dalam kadar yang tepat untuk menyokong kehidupan umat.

Melalui semua itu kita melihat kuasa kehadiran Allah di bait-Nya dan di antara umat-Nya. Kuasa yang menghadirkan kebaikan bagi umat-Nya.

Sudah hadirkah Allah di dalam hidup Anda? Apakah orang-orang di sekitar Anda merasakan dampak yang mengalir dari hadirat Allah melalui kehidupan Anda? Sudahkah Anda menunjukkan sikap dan kesaksian yang seimbang dalam hidup Anda?
Sumber : E SABDA
Saturday, May 29, 2010

Berdasarkan kasih karunia (Yudas 1:3-4)

Bagai musuh dalam selimut, begitulah keberadaan oknum-oknum pengajar sesat yang menyelusup masuk ke dalam komunitas orang beriman. Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memutarbalikkan kebenaran tentang kasih karunia Tuhan agar dapat melakukan perbuatan dosa. Mereka berkata bahwa orang yang telah menerima kasih karunia Tuhan dapat melakukan apa saja yang mereka sukai. Meski perbuatan dosa sekalipun. Dan mereka tidak perlu takut akan hukuman Allah.

Masalahnya umat tampaknya tak menyadari betapa berbahayanya mereka. Sebab itulah Yudas, yang semula ingin menulis surat yang berisi pengajaran tentang keselamatan, kemudian jadi menulis tentang pengajaran sesat. Surat Yudas ini menjadi penting karena pengajaran sesat memang harus dilawan. Jika tidak, orang yang lemah iman bisa tersandung. Bila sudah terpengaruh kesesatan itu, umat akan jadi susah memahami bahwa iman yang benar harus diikuti dengan tindak tanduk dan perbuatan yang benar pula. Maka sesatlah pengajaran yang mengatakan bahwa kasih karunia Allah membebaskan orang untuk melakukan segala sesuatu, apa pun bentuknya. Ini kasih karunia murahan namanya! Artinya kasih karunia tanpa pertobatan. Seolah-olah kasih karunia justru merupakan surat izin untuk berbuat dosa. Padahal bukan demikian! Terlebih lagi, sikap hidup demikian sesungguhnya merupakan penyangkalan terhadap Tuhan Yesus!

Pengajaran yang benar adalah, kasih karunia Allah justru memberi kuasa kepada orang percaya untuk melakukan apa yang benar, yang sesuai dengan kehendak Allah. Paulus pun pernah mengatakan bahwa orang yang tidak menunjukkan pertobatan dengan terus melakukan dosa sesungguhnya bukanlah warga Kerajaan Allah (ayat 1Kor. 6:9-11; Gal. 5:19-21).

Bagaimana pemahaman kita sendiri tentang kasih karunia? Kiranya kasih karunia Allah menolong kita untuk bertumbuh dalam pemahaman iman yang benar, sehingga melaluinya kita tahu bagaimana kita harus hidup.
Sumber : E-Sabda

Jangan sesat! (Yudas 1:5-19)

Menjauh dari Allah?" Kita mungkin akan menggelengkan kepala untuk menolak ajakan itu. Namun mari kita perhatikan tindakan kita, gaya hidup kita, pola konsumsi kita, apakah semua itu sudah sesuai dengan kehendak Allah?

Yudas memberi contoh untuk menjelaskan bahwa di antara komunitas orang beriman, ada yang memberontak terhadap Allah. Misalnya orang Israel yang mengalami kedahsyatan Allah saat dibebaskan dari Mesir (ayat 5). Beberapa dari antara mereka kemudian tidak mau memercayai Allah. Akibatnya Tuhan menghukum dengan tidak membiarkan mereka masuk ke tanah perjanjian. Atau sekelompok malaikat yang semula punya hak istimewa untuk tinggal di dekat Allah (ayat 6). Beberapa dari antara mereka memberontak melawan
Allah. Tentu saja mereka akan menerima murka-Nya! Contoh lain adalah Sodom dan Gomora, dengan penyimpangan seksual mereka (ayat 7). Mereka menerima hukuman (Kej. 19:1-29).


Bagi Yudas, para penyesat itu seperti pemimpi yang hidup dalam dunia religius yang tidak nyata, yang menginginkan kehidupan beriman sesuai keinginan sendiri (ayat 8-10). Mereka seperti Kain, yang menjalankan ritual agama tanpa iman; atau seperti Bileam, yang mempraktikkan hidup keagamaan untuk keuntungan pribadi; atau seperti Korah, yang menolak otoritas Allah (ayat 11). Selain itumereka juga rakus (ayat 12). Tak heran bila Yudas menggambarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak punya kualitas iman (ayat 12-13) karena hidup menuruti hawa nafsu fasik (ayat 18-19). Mereka tidak membiarkan Roh Kudus memimpin hidup mereka. Sebab itu Yudas memperingatkan bahwa mereka akan dihukum Allah (ayat 14-16).

Bagaimana penilaian kita tentang hidup yang demikian? Mengerikan? Namun mari selidiki diri kita, masih adakah segi hidup yang tidak kita serahkan untuk dipimpin Roh Kudus? Masih adakah aspek hidup yang kita hindarkan dari mata tajam Allah karena keinginan memuaskan diri? Kiranya kita memperlihatkanlah hidup yang sesuai dengan iman dan pengenalan akan Tuhan yang kudus.
Sumber : E-Sabda
Thursday, May 27, 2010

Waspada dalam pergaulan (1Korintus 10:1-11:1)

Hal yang berharga bagi kehidupan bisa juga mengandung bahaya yang besar. Pisau kecil meski cukup untuk melukai, tetapi tidak sebahaya belati atau kapak. Demikian halnya dengan pergaulan. Pergaulan adalah salah satu karunia mulia untuk hidup manusia. Pergaulan membuat kita mengenal diri, bertumbuh dalam relasi, mengembangkan berbagai fungsi sosial, dan aspek kemanusiaan lainnya. Namun selain merusak diri sendiri, pergaulan yang buruk dapat menyebarkan infeksi kejahatan lebih jauh lagi dalam masyarakat.

Kota Korintus, tempat orang Kristen penerima surat ini tinggal, merupakan kota metropolitan yang terkenal dengan gaya hidup yang bebas. Selain godaan kemakmuran (materialitis), berhala dan percabulan juga luar biasa dahsyatnya di sana. Beberapa dari orang Kristen di Korintus sudah terjerat oleh gaya hidup cemar yang melawan kekudusan Tuhan, rupanya karena tidak berhati-hati dalam pergaulan. Maka Paulus mengingatkan jemaat Tuhan agar belajar dari kegagalan umat Israel zaman Keluaran. Waktu itu semua sudah mengalami karya penyelamatan Allah melalui kepemimpinan Musa. Mereka telah menyeberangi batas dan sudah siap memasuki tanah perjanjian; mereka menerima pimpinan Allah, dipelihara Allah melalui manna dari surga, dan banyak lagi berkat Ilahi lain. Namun tidak satu pun dari mereka yang akhirnya diizinkan masuk tanah perjanjian. Berbagai sifat jahat membuat mereka didiskualifikasi Allah!

Kita semua sedang melintasi dunia menuju surga mulia. Dalam dunia ini kita harus bergaul, sebab itu merupakan hakikat sosial kita, juga merupakan panggilan misi. Untuk menjaga kekudusan, jalan paling mudah adalah langsung masuk surga, alias mati secepatnya. Namun Allah menjadikan padang gurun kehidupan dunia bagai sekolah untuk memurnikan kita. Melaluinya kita mengalami penyertaan dan kuasa Allah yang memelihara serta menguduskan. Maka pergaulan dengan orang dunia adalah suatu keharusan. Orang Kristen harus belajar bergaul dengan memancarkan terang Allah sehingga pergaulan itu bukan merusak diri, tetapi membawa kemungkinan terjadinya dampak anugerah kepada yang belum mengalami.
Sumber : E SH

Taatilah Allah (Yunus 1:1-9)

Perjanjian Allah dengan Abraham menyebutkan bahwa melalui keturunan Abraham, Allah akan memberkati bangsa-bangsa. Namun belum ada orang Israel yang pernah pergi ke bangsa lain untuk menceritakan kebesaran Allah. Inilah satu-satunya kisah di PL, di mana ada orang Israel yang diperintahkan untuk pergi ke bangsa nonIsrael mewartakan panggilan pertobatan (ayat 1-2).

Bagaimana reaksi Yunus? Ia memang tidak mengatakan apa pun. Ia hanya pergi ke Yafo dan dari situ ia naik kapal ke Tarsis (ayat 3), bukan ke Niniwe seperti yang diperintahkan Tuhan. Yunus menolak menaati perintah Allah. Bagi dia, orang Niniwe tidak layak menerima kasih karunia Allah. Yang patut mereka terima hanyalah murka Allah. Itulah sebabnya Yunus melarikan diri dari Allah. Yunus mungkin lupa bahwa Allah berkuasa atas alam raya ini. Jadi ke mana pun dia pergi, Allah pasti tahu. Benar saja, Allah yang berkuasa itu kemudian mengirimkan badai yang membuat laut bergelora (ayat 4). Rasa takut yang muncul karena nyawa terancam membuat awak kapal berdoa kepada allah mereka. Sementara si hamba Allah justru tidur nyenyak (ayat 5). Yunus jadi tidak peka pada apa yang sedang dilakukan Allah. Sementara orang-orang yang tidak mengenal Allah justru sadar benar bahwa bencana itu terjadi karena ada yang menyebabkan. Walaupun kemudian Yunus mengatakan bahwa ia takut akan Tuhan (ayat 9), tindakannya sama sekali tidak memperlihatkan hal itu. Jika Yunus memang takut akan Allah, ia pasti akan menaati Allah atau setidaknya berdoa ketika terjadi badai.

Yunus dikenal bukan karena kesalehan, melainkan karena pemberontakannya. Dialah satu-satunya nabi yang tercatat melarikan diri dari Allah. Lalu seperti apa orang lain mengenal kita, dalam hal hubungan kita dengan Allah? Seperti Yunus, kita mungkin sering ingin menghindar dari kehendak Allah. Namun belajar dari kisah Yunus, kita melihat bahwa penting bagi kita untuk mematuhi perintah Allah dengan pemahaman bahwa Dialah yang utama dalam hidup kita.
Sumber : E-SH
Tuesday, May 25, 2010

Restorasi hidup (Yehezkiel 48:30-35)

Bangsa Israel dipanggil untuk menjadi saksi bagi semua bangsa. Pengharapan yang dijanjikan kepada Israel mencapai klimaks dengan sebuah kota yang berperan sentral dalam kehidupan Israel sebagai bangsa yang dipanggil menjadi saksi bagi semua bangsa. Sentralitas kota terlihat melalui lokasi yang dikhususkan untuk TUHAN. Namun kota ini terletak bukan di wilayah yang dikuduskan. Artinya dapat diakses oleh siapa saja: orang awam, bahkan orang asing.

Kota ini memiliki dua belas pintu keluar yang diberi nama menurut kedua belas anak Yakub. Ini menunjukkan setiap orang Israel punya hak yang sama atas kota ini. Pemilihan kata "pintu keluar" alih-alih "pintu gerbang" atau "pintu masuk" menunjukkan bahwakota ini berorientasi keluar: orang akan keluar dari kota itu, berkat TUHAN akan keluar dari kota itu, kemuliaan TUHAN juga akan terpancar keluar dari kota itu. Kota itu akan jadi pengingat bagi Israel bahwa mereka dipanggil untuk menjadi kesaksian bagi bangsa lain.

Nama kota ini dalam bahasa Ibrani memiliki bunyi yang mirip dengan kata "Yerusalem". Penghindaran penggunaan "Yerusalem" nampaknya adalah upaya menegaskan bahwa Israel dan Yerusalem baru tak akan seperti Israel dan Yerusalem lama. Akan ada pembaruan drastis karena TUHAN dan umat akan bersekutu secara riil, tidak lagi melalui ritual ibadah tak bermakna, yang membawa mereka ke pembuangan.

Klimaks yang intens dan berakhir dengan nama yang indah itu menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah pemulihan kondisi politis atau pembangunan kembali infra-struktur yang telah hancur. Melebihi semuanya, kehadiran TUHAN dalam persekutuan dengan umat-Nya, itulah yang terutama. Kehilangan terbesar manusia ketika jatuh ke dalam dosa adalah persekutuan dengan Allah, dan restorasi terbesar yang TUHAN janjikan adalah TUHAN hadir bersama umat-Nya. Sudahkah restorasi itu terjadi di dalam hidup Anda? Bagaimana hidup Anda mengkomunikasikan restorasi itu kepada orang-orang di sekitar Anda?
Sumber : E-SH

Tenang, ada Allah (Yudas 1:24-25)

Dalam dunia selam (diving) berlaku aturan bahwa seorang penyelam tidak boleh menyelam sendirian. Ia harus ditemani orang lain yang disebut buddy. Gunanya adalah agar mereka bisa saling melindungi saat berada di kedalaman laut. Hal yang hampir sama juga ada dalam kehidupan orang Kristen. Di tengah belantara dunia dengan berbagai ajaran sesat yang selalu berusaha menghadang perjalanan iman, orang Kristen tidak boleh sendirian. Yang berbeda adalah, orang Kristen ditemani oleh satu pribadi yang jauh lebih berkuasa, yaitu Allah. Inilah yang diyatakan Yudas di bagian penutup suratnya.

Yudas ingin meyakinkan para pembaca suratnya mengenai kuasa Allah yang akan menolong mereka, agar tetap setia di tengah berbagai ancaman terhadap iman mereka. Bagian penutup ini seolah ingin mengangkat semua permasalahan yang dihadapi orang percaya di bumi ke hadapan Allah.

Yudas memang tidak ingin pembaca suratnya terpojok dalam kegelapan  masalah. Ia ingin mengingatkan mereka bahwa Allah berkuasa membawa setiap orang, yang adalah milik-Nya, ke hadapan-Nya. Selain itu, pernyataan Yudas di akhir surat mengenai Allah memperlihatkan bahwa Ia adalah Juruselamat melalui Tuhan Yesus Kristus. Maka apa pun yang dikatakan oleh para penyesat itu, orang percaya harus yakin bahwa hanya ada satu Allah dan Juruselamat. Di dalam Dialah ada kemuliaan, kebesaran, kekuatan, dan kuasa (ayat 25). Maka seberapa besar pun ancaman dari si penyesat, Allah jauh lebih besar. Dialah Pemenang. Hanya jika kita tetap tinggal di dalam Dia, kita mendapat jaminan untuk menang juga. Hanya dengan beriman kepada kuasa Allah kita akan berdiri teguh dalam iman kita kepada Dia.

Yudas adalah kitab yang penuh dengan peringatan akan bahaya, tetapi kemudian ditutup dengan penuh keyakinan akan Allah dan kuasa-Nya. Bahaya yang dihadapi orang beriman, memang seharusnya semakin memperkokoh iman kita kepada Allah yang Maha Kuasa itu.
Sumber : E - SH
Friday, May 21, 2010

Kedatangan Anak Manusia (Matius 24:29-36)

Bagaimanakah Tuhan Yesus akan datang untuk keduakalinya? Kedatangan-Nya akan bersifat universal dan diketahui oleh semua bangsa di dunia (ayat 29-30).

Kedatangan Tuhan Yesus yang kedua membawa pesan yang berbeda dari kelahiran-Nya di kandang Betlehem yang sederhana dan dari kematian-Nya di kayu salib yang terkutuk. Kedatangan-Nya yang kedua menunjukkan kemuliaan dan kekuasaan-Nya (ayat 30). Para malaikat Tuhan akan pergi ke seluruh penjuru dunia untuk mengumpulkan umat pilihan-Nya menyongsong Tuhan (ayat 31).Kebenaran ini akan memberikan semangatjavascript:void(0) baru bagi semua umat percaya di dalam menghadapi Akhir Zaman dengan penuh kekuatan dan pengharapan, meskipun mereka harus melewati masa-masa sulit sebelumnya.

Kedatangan Yesus yang kedua akan terjadi dengan segera (ayat 24) dan pasti (ayat 25), meskipun Tuhan tidak mengisyaratkan waktunya (ayat 36). Kesegeraan kedatangan Yesus tidak dapat disangkali dari perikop yang kita baca pada hari ini, meskipun pesan tersebut tidaklah harus diartikan secara hurufiah seluruhnya. Nampak jelas bahwa Yesus tidak menginginkan umat-Nya lengah di dalam menantikan kedatangan-Nya. Bahkan Ia menjamin bahwa apa yang Ia firmankan pasti akan terjadi (ayat 25).

Kapan waktunya? Malaikat-malaikat di surga tidak tahu. Tuhan Yesus menggunakan ungkapan `anak manusia' untuk melukiskan tentang diri- Nya sendiri, dan mengatakan bahwa Ia sendiripun tidak tahu kapan saatnya. Hanya Allah Bapa yang mengetahuinya. Usaha-usaha untuk meramal hari kedatangan-Nya adalah sia-sia. Sikap positif yang dapat kita lakukan adalah berjaga-jaga dan berpegang pada pengharapan pasti yang telah dijanjikan-Nya.

Mari bersyukur untuk janji Tuhan akan kedatangan-Nya. Ia akan datang mengumpulkan kita dalam kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Waktunya sudah dekat dan pasti akan segera datang!
Sumber : sabda

Siksaan dan penyesatan di akhir zaman (Matius 24:15-28)

Yesus menekankan betapa dahsyatnya penderitaan dan siksaan yang akan dialami umat percaya menjelang zaman ini berakhir (lih. 24.9-13). Yesus mengutip nubuat Daniel bahwa penderitaan itu akan dilakukan oleh pembinasa keji yang mengambil tempat dari takhta raja yang diurapi/tempat kudus (ayat 15; lih. Dan. 9:20-27). Nubuat ini secara sejarah sudah digenapi dengan kehancuran Yerusalem di tahun 70, tetapi akan digenapi lebih dahsyat dan tuntas pada akhir zaman.

Yesus menggambarkan kedahsyatan penderitaan tersebut secara jelas (ayat 16-22). Maka orang dinasihatkan untuk menyelamatkan jiwa daripada mempertahankan harta (ayat 17-18), sebaiknya tidak menambah beban dengan hamil dan memiliki bayi (ayat 19). Berdoa supaya saat melarikan diri dihindarkan dari musim dingin dan hari Sabat (ayat 20). Siksaan ini begitu dahsyat, yang jika tidak dipersingkat waktunya maka tidak akan ada yang mampu bertahan (ayat 21-22). Lukisan di atas tidak mendorong kita untuk menjadi pengecut yang lari dari kenyataan. Lukisan di atas berfungsi untuk menggambarkan betapa seriusnya dan beratnya siksaan yang dilakukan oleh si pembinasa keji.

Lukisan mengenai si penyesat, mesias palsu, dan nabi palsu juga diperjelas (ayat 23-26). Mereka digambarkan sebagai penyesat yang dapat melakukan tanda-tanda dan mukjizat yang dahsyat. Banyak orang akan tertipu oleh tanda-tanda tersebut bahkan termasuk orang-orang pilihan.

Baik gambaran mengenai beratnya penyiksaan oleh pembinasa keji dan dahsyatnya penyesatan oleh Mesias palsu dan nabi palsu mengingatkan kita untuk bersikap waspada dan tidak terlena. Sekuat apa pun iman kita, Yesus mengingatkan bahwa kita rentan.

Doa: Tuhan berikan kepada kami kekuatan untuk bertahan di dalam masa- masa sulit di akhir zaman. Tolong kami untuk bersikap rendah hati, tidak lengah, dan hanya mengandalkan perlindungan-Mu.
Sumber : Sabda
Wednesday, May 19, 2010

Melayani dari Hati (1Tawarikh 11:10-47)

Adakah hamba Tuhan yang sukses dalam pelayanan tanpa dukungan orang lain? Bahkan Tuhan Yesus selama masa pelayanan-Nya di Palestina menerima dukungan dari beberapa wanita untuk kebutuhan hidup-Nya dan para murid-Nya (Luk. 8:1-3).

Perikop ini memperlihatkan banyak orang yang berperan di balik kesuksesan Daud sebagai raja. Mereka adalah hamba-hamba Tuhan sama seperti Daud. Melalui merekalah Tuhan memberikan kemenangan besar (ayat 14). Mereka menjadi pendukung Daud yang setia, bahkan yang rela berkurban demi raja mereka. Daud memelihara relasi yang dekat dan timbal balik dengan para pendukungnya. Mereka setia mendukung Daud, Daud menghargai kesetiaan mereka dan lebih bertanggung jawab lagi dalam tugas menggembalakan umat Tuhan.

Satu kisah yang mengharukan dicatat di sini. Tiga kepala pasukan Daud dengan berani menerobos perkemahan pasukan musuh untuk mengambilkan air minum bagi Daud dari perigi di Betlehem. Betlehem sebagai kota kelahiran Daud, pasti menimbulkan nostalgia baginya. Respons Daud membuktikan kepeduliannya atas anak buahnya. Dengan tidak meminum air pemberian itu, sebaliknya mempersembahkannya kepada Tuhan, Daud menyatakan penghargaannya yang besar kepada ketiga anak buahnya itu. Apa yang mereka lakukan bagi Daud karena kecintaan mereka terhadap dia, kini Daud peruntukkan bagi Tuhan. Seakan-akan kata-kata Yesus diwujud nyatakan lewat peristiwa ini, "Apa yang kamu lakukan kepada salah seorang yang kecil ini, kamu lakukan untuk Aku" (Mat. 25:40).

Baik Daud maupun para pendukungnya, melakukan pelayanan karena hati yang mengasihi Tuhan sehingga mereka pun saling mengasihi. Kiranya pelayanan kita pun juga memiliki motivasi serupa. Apalagi kasih Kristus sudah nyata dalam hidup kita. Mari kita dukung para pemimpin kita dengan dukungan yang tulus, yang lahir dari kasih Ilahi.
Sumber : Sabda

Pelayan Tuhan (1Tawarikh 6:1-30)

Ketika masih kecil, saya beberapa kali mendengar komentar orang-orang tua bahwa menjadi hamba Tuhan bukanlah profesi yang menjanjikan masa depan yang cerah. Saya rasa orang tua saya pun dulu demikian berpikirnya. Namun hari ini saya adalah seorang yang melayani Tuhan secara penuh waktu, dan orang tua saya tidak malu untuk mengatakan bahwa anaknya adalah seorang hamba Tuhan. Anak-anak saya pun bangga memiliki ayah seorang yang mengabdikan dirinya untuk pekerjaan Tuhan. Bahkan, saya bersyukur untuk putri sulung saya yang sudah mempersembahkan dirinya untuk melayani Tuhan penuh waktu.

Setelah menyajikan silsilah dari berbagai suku Israel, yang semuanya tentu menimbulkan kebanggaan bagi masing-masing orang, penulis Tawarikh sekarang memfokuskan pasal 6 untuk menuturkan silsilah dari suku Lewi. Tuhan telah memilih suku Lewi secara khusus untuk melayani Dia di rumah Tuhan. Tiga anak Lewi yang menjadi tiga keluarga besar, Gerson, Kehat, dan Merari, masing-masing memiliki tugas di dalam pengelolaan rumah Tuhan (lih. Bil. 3).
 
Dari keluarga Kehat dipilih secara lebih khusus keluarga Harun untuk menjabat sebagai imam besar turun temurun. Harun adalah cucu Kehat dari Amran. Keluarga Harun memiliki posisi sentral dalam ibadah rumah Tuhan. Oleh karena itu silsilahnya dipaparkan terlebih dahulu (ayat 4-15). Setelah itu berturut-turut keluarga Gerson (ayat 20-21), Kehat (ayat 22-28), dan Merari (ayat 29-30).

Kebanggaan karena merupakan keturunan seorang hamba Tuhan atau karena ada anggota keluarga yang berprofesi hamba Tuhan seharusnya bukan menimbulkan kesombongan, melainkan dorongan untuk ikut terjun
dalam pelayanan. Menjadi hamba Tuhan adalah panggilan dan pilihan Tuhan sesuai dengan anugerah-Nya. Bukan jabatan atau status yang diutamakan, tetapi pekerjaan yang dipercayakan Tuhan, yang harus disyukuri dan dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab.
Sumber : Sabda
Tuesday, May 18, 2010

Jangan cobai Rajamu! (Mazmur 95)

Apa dosa umat Israel yang terus menerus diulang? Tidak memercayai Tuhan dengan sepenuh hati! Mereka terus menerus mencobai Dia dengan berbagai hal. Baik dengan menggantikan Dia dengan dewa-dewi bangsa lain, ataupun dengan terus bersungut-sungut untuk setiap masalah yang menimpa hidup mereka.

Berbagai hajaran keras sudah Tuhan timpakan kepada mereka atas ketidakpercayaan mereka. Salah satu yang paling dahsyat adalah ketika mereka harus kehilangan tanah perjanjian dan identitas mereka sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Namun di mazmur ini (8-11), salah satu hukuman dahsyat paling awal yang diingat pemazmur adalah ketika nenek moyang mereka untuk satu generasi kehilangan kesempatan masuk ke tanah Perjanjian gara-gara sikap tidak percaya mereka kepada Tuhan (lih. Bil. 14).

Hukuman dahsyat Tuhan tidak pernah dimaksudkan untuk menghancurkan melainkan untuk pertobatan. Hukuman dashyat seharusnya menyadarkan mereka, bahwa Tuhan adalah Raja mereka yang berdaulat serta berhak mendapatkan sembah, hormat, dan ketaatan mereka.

Inilah inti dari ayat 1-7. Pemazmur mengajak umat Tuhan beribadah kepada Tuhan dengan masuk ke hadirat-Nya (perhatikan ay. 1 “Mari…”; ay. 2 “biarlah kita menghadap…”; ay. 6 “Masuklah …”) karena Tuhan adalah Raja, Sang Pemilik umat-Nya. Dia bukan hanya Raja atas umat-Nya, tetapi atas alam semesta. Tidak ada satu pun di alam ciptaan ini yang dapat berkata, “Aku bebas menentukan hidupku sendiri”. Tuhan adalah Raja, berarti Dia harus menjadi segala-galanya bagi hidup umat-Nya. Itu berarti hanya ada kesetiaan tunggal kepada Dia, satu komitmen teguh kepada kehendak- Nya.

Kesadaran bahwa Tuhan adalah Raja yang berdaulat dan pemilik hidup kita seharusnya membawa kita pada ketaatan tanpa syarat. Apalagi di dalam Kristus, Sang Raja yang sudah menang itu, kita dipelihara dengan kepastian dan jaminan penuh dari Tuhan sendiri.
Sumber : sabda
Tuesday, May 11, 2010

"Sisa" umat di tengah yang ditolak (Roma 11:1-10)

Bagaimanakah sikap dan reaksi kita ketika kesaksian kita tentang Injil Yesus Kristus ditolak sebagian besar orang? Bagaimanakah menurut kita sikap Allah dalam kasus tersebut? Samakah sikap dan reaksi kita dengan sikap Allah?

Penolakan Israel terhadap Yesus menimbulkan permasalahan teologis. Israel adalah umat pilihan Allah untuk menjadi berkat bagi segala bangsa, yaitu menjadi bangsa yang melahirkan Juruselamat dunia.Kedudukan mereka dalam rencana keselamatan Allah untuk dunia sangat istimewa. Namun sebagaimana Abraham diperhitungkan benar karena imannya dan bukan karena perbuatan atau status, demikian juga keselamatan semua orang Israel harus didasarkan atas iman kepada Juruselamat. Tragis sekali ketika Mesias benar-benar datang dan melayani mereka, Ia ditolak dan disalibkan.

Masalahnya ialah, apakah Israel yang menolak Yesus itu tetap umat Allah? Atau karena telah menolak Yesus sang Penggenap janji Mesias, yaitu hal hakiki yang menjadikan Israel umat pilihan, maka mereka bukan lagi umat pilihan? Apakah Allah membuang mereka? Jika begitu, betapa sedih Paulus. Sebagai orang Yahudi, ia rindu bangsanya tetap umat Allah dan mengalami keselamatan yang dijanjikan Allah dan digenapi dalam Yesus. Alangkah ironis karena salah satu dari umat terbuang itu kemudian menjadi rasul bagi orang kafir!

Penolakan Israel tidak membuat rencana Allah buyar, tidak juga membuat Israel kehilangan status keterpilihannya (ayat 2). Di balik penolakan yang akibat ngerinya harus dipikul tiap orang Yahudi yang menolak Injil, Allah tetap mempertahankan sisa umat (ayat 5). Seperti halnya Paulus akhirnya merespons Yesus dengan benar, seperti pada zaman Elia Allah memelihara 7000 orang yang tetap setia pada-Nya, demikian pun secara misterius Allah pasti membuat ada sebagian orang Israel yang akhirnya percaya pada Yesus. Sungguh ajaib anugerah dan jalan Allah! Maka dalam kesaksian kita pun, jangan mudah putus asa karena penolakan orang. Berharaplah penuh pada keajaiban anugerah dan jalan-jalan Allah!
Sumber : Sabda
Friday, May 7, 2010

Beritakan terus! (Roma 10:16-21)

Israel dikenal sebagai bangsa yang tegar tengkuk. Mereka memang keras kepala dan tidak mudah percaya. Sehingga walaupun telah mendengar firman Tuhan, mereka belum tentu mau memberikan respons positif (ayat 18).

Begitu pula mengenai pemberitaan tentang keselamatan di dalam Kristus. Mereka menolak Mesias yang sebenarnya sudah dinanti-nantikan oleh bangsa Israel sejak lama. Maka Allah beralih kepada bangsa-bangsa lain (bdk. Yes. 65:10). Allah memperdengarkan berita keselamatan itu kepada bangsa-bangsa di luar Israel. Bangsa-bangsa ini kemudian merespons dengan iman dan menerima anugerah keselamatan. Walau demikian Allah tidak menutup pintu rapat-rapat bagi orang Israel. Meski Allah telah menyatakan belas kasih-Nya kepada bangsa-bangsa lain, kasih-Nya kepada bangsa Israel masih tetap tercurah. Mereka masih melekat di hati-Nya. Sebab itu Allah selalu berusaha menjangkau Israel (ayat 21). Ia mau mengajak mereka untuk kembali kepada-Nya dan menikmati kasih karunia-Nya.

Kisah kasih setia Allah kepada bangsa Israel ini mengingatkan kita pada orang-orang yang sudah berulang kali kita perdengarkan beritakan keselamatan, tetapi belum juga terbuka pada Injil dan mau bertobat. Jangan pernah menyerah. Allah masih ingin memakai kita untuk berbicara kepada orang-orang yang mengeraskan hati dan menutup diri terhadap Injil. Walaupun ada masa kita merasa bahwa pemberitaan kita sia-sia, bagai menguap tak berbekas, ingatlah bahwa Roh Kudus masih setia bekerja. Jadilah seperti Paulus, yang tetap memiliki keterbebanan agar bangsanya diselamatkan walaupun mereka menolak Kristus. Yakinlah bahwa pemberitaan kita tidak akan sia-sia. Benih Injil itu masih punya kesempatan untuk bertumbuh. Ketahuilah bahwa Allah tidak menghendaki seorang pun binasa, Ia ingin semua orang bertobat (2Ptr. 3:9). Bila kita tetap setia dan tidak jemu, orang dapat terus mendengar Injil dan punya kesempatan menerima kasih karunia Allah.
Sumver : Sabda

Beritakanlah (Roma 10:4-15)

Hukum Taurat adalah kebenaran Ilahi, yang berfungsi sebagai rambu-rambu penunjuk jalan. Orang tak akan pernah sampai kepada Allah hanya dengan berpedoman Hukum Taurat. Kristuslah jalan. Hanya melalui Dia sajalah orang dapat sampai kepada Allah. Namun orang Israel merasa sulit menerima pemahaman tersebut. Bagaimana mungkin meniadakan kesalehan dan mengutamakan kasih karunia?

Padahal pengajaran Paulus begitu sederhana: mereka hanya perlu beriman kepada Yesus Kristus dan mengakui Dia sebagai Tuhan yang telah bangkit dari maut (ayat 9-10). Keselamatan ini tidak lagi terbatas hanya pada sekelompok orang tertentu, melainkan terbuka bagi setiap orang yang mau per-caya, tanpa memandang ras (ayat 11-13). Tak ada seorang pun yang perlu meragukan bahwa dia tak akan kebagian kasih karunia ini. Tak ada istilah bangsa pilihan dalam hal ini.

Karena Allah menujukan keselamatan bagi semua bangsa, tanpa memandang ras, tentu perlu ada orang yang menyebarluaskan berita keselamatan ini. Banyak orang di berbagai penjuru dunia yang belum pernah mendengar tentang Kristus, sebab itu perlu ada orang yang mau pergi ke tempat mereka dan memberitakan keselamatan di dalam Dia (ayat 14-15).  Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan, kita pun beroleh tugas untuk memberitakan warta keselamatan itu. Di mana kita dapat melakukannya? Di rumah, di kantor, atau di lingkungan sekitar kita? Namun ada juga orang-orang yang memiliki kerinduan untuk mewartakan Injil ke tempat-tempat asing yang belum pernah dia ketahui sebelumnya. Untuk mereka, kita perlu berdoa agar banyak pintu yang terbuka bagi pemberitaan mereka.

Gereja pun, terutama yang sudah lama berdiri, seharusnya tidak hanya berkutat dengan masalah pelayanan internal. Sudah saatnya memikirkan dan mendoakan secara serius untuk mengirimkan utusan Injil ke tempat-tempat jauh itu agar semakin banyak orang yang memiliki kesempatan untuk mendengar dan merespons Injil.
Sumber : Sabda
Wednesday, May 5, 2010

Tak dapat dipisahkan (Roma 8:31-39)

Apakah keselamatan kita berlaku tetap dalam segala situasi dan kondisi? Ketika kita mengalami masalah atau penderitaan, bukankah kadang kala kita bertanya-tanya, merasakan apakah Allah sedang menjauhi kita? Atau apakah Allah masih mengasihi kita?

Paulus tidak menolak fakta bahwa orang Kristen juga menghadapi musuh dan masalah (bdk. Mzm. 44:23). Namun orang percaya harus tahu bahwa pencobaan dan penderitaan bukan merupakan tanda bahwa Allah mengalihkan kasih-Nya. Karena itu Paulus mengemukakan fakta lain yang jauh lebih penting, yaitu Allah berada di pihak orang percaya (ayat 31)! Maka tidak ada satu pihak pun yang dapat mengalahkan atau menggugat orang-orang pilihan Allah di hadapan Allah (ayat 33). Lalu jika Allah yang menjadi jaminan kita, mengapa kita harus takut? Allah berada di pihak kita! Siapakah yang dapat melawan kita jika Allah yang Maha Kuasa itu ada di pihak kita?

Kita pun harus mengingat bahwa salib telah mendemonstrasikan anugerah Allah yang begitu besar bagi manusia. Jadi jika Allah telah bersedia mengaruniakan Anak-Nya yang terkasih, tentu tidaklah mengherankan bila Ia tidak akan menahan segala sesuatu untuk mkebaikan umat-Nya. Karya Allah melalui Anak-Nya itu seharusnya meyakinkan kita bahwa tak ada seorang pun yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya. Sehingga walaupun kita mengalami penderitaan, kita harus memandang hal itu sebagai konsekuensi dari identifikasi kita dengan Kristus (bdk. 1Ptr. 2:21-25; 4:14-19). Iman kita pun memang harus mengalami ujian agar bertumbuh.

Maka jangan lagi dikuasai ketakutan atau keraguan karena Tuhan kita, Yesus Kristus, telah menjadi Pengantara kita. Tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya. kita harus meyakini bahwa salib Kristus merupakan jaminan bagi kemenangan iman kita dalam situasi apa pun yang kita hadapi. Bersukacitalah karena hal ini.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/09/

Berbuah bagi Tuhan (Mazmur 92:13-16)

Ada seorang kawan saya yang memiliki rumah dengan halaman belakang kebun buah yang luas. Di kebun itu ia menanam berbagai pohon buah: rambutan, mangga, duku, durian, dan entah apa lagi lainnya. Ketika pohon-pohon itu berbuah, dengan bangga dan senang teman saya itu membagikan buah-buah itu kepada kami, kawan-kawannya. Atau kadang kami diundang bertandang ke rumahnya, lalu menikmati waktu untuk ngobrol dan menikmati buah.

Pernahkah terpikir oleh Anda mengapa banyak bagian Alkitab khususnya Mazmur, yang menggambarkan hidup orang beriman sebagai pohon buah dan diharapkan mengeluarkan buah yang baik dan lebat? Dalam kehidupan nyata apakah Anda tergolong pohon yang berbuah baik dan lebat, atau sebaliknya? Jika kita berbuah baik dan lebat, sang pemilik kebun yaitu Allah akan bersukacita. Ketika kita mengeluarkan banyak buah karakter, perilaku, dan pelayanan yang indah serta serasi dengan maksud-maksud Allah untuk hidup kita, kita juga menyukakan banyak pihak. Hidup yang berbuah baik dan lebat adalah hidup yang menyenangkan hati Allah dan membawa berkat bagi sesama.

Apa prasyarat agar kita me-miliki hidup yang berhasil, menyukakan hati Allah, dan jadi berkat bagi sesama? "Mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita." Seperti semua pohon di kebun kawan saya mendapat perhatian dan perawatan sampai berbuah lebat, demikian juga kita harus benar-benar ada dalam lingkup pemeliharaan, hadirat, dan berbagai ungkapan campur tangan-Nya dalam hidup kita. Apakah Anda memiliki hubungan akrab dengan Allah? Apakah Anda memelihara komunikasi intim dalam doa dan menerima siraman firman-Nya secara teratur? Apakah Anda menyambut dengan taat ketika Ia membersihkan bagian hidup yang mengganggu proses pertumbuhan dan pematangan buah karakter serta pelayanan Anda? Apakah dalam keterbukaan pada pertolongan Roh-Nya Anda makin menyatu dengan Allah hingga semua aspek hidup Anda sepenuhnya dihidupi dalam hadirat-Nya? Bila ya, kita pasti menghasilkan berbagai ungkapan hidup dan karya yang memuliakan Dia.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/17/

Meniru Kristus, memuliakan Allah (Roma 15:1-13)

Adakah praktik dan tindakan dalam gereja Anda yang terkesan aneh untuk orang kebanyakan? Adakah sikap dan gaya hidup Anda yang bisa dinilai tidak lazim? Jika tidak ada, jangan-jangan gereja Anda dan hidup Anda belum sungguh memberlakukan sikap hidup Kristus!

Sedemikian pentingnya menerapkan sikap dan perilaku Kristus, sampai di tengah nasihatnya Paulus menaikkan doa kepada Allah (ayat 5-6). Tidak ada hal lebih penting untuk gereja praktikkan daripada meniru sikap Kristus yang beranugerah, yang mempersatukan jemaat dan mempertajam daya kejut kehadiran Kristen di tengah dunia. Jika kita tidak memiliki keberanian untuk radikal dan revolusioner ala Yesus Kristus, kita tidak memiliki daya kejut itu! Karena nasihatnya tidak mudah untuk dilakukan, maka Paulus menyebut dua sifat Allah: sumber ketekunan dan penghiburan!

Meniru Kristus dalam sikap dan perilaku bergereja membawa dampak radikal. Namun mengusahakan secara konsis-ten dan benar bukan hal mudah. Itu sebabnya Paulus berdoa kepada Allah yang tekun dan menghibur. Jika kita senada dengan kasih Allah dan pengorbanan Kristus dalam inkarnasi serta penderitaan-Nya demi menghasilkan perubahan dalam hidup manusia, maka akan terjadi hal yang radikal. Agar kita peka, mari renungkan: kehidupan Kristen dan kondisi gereja macam apa yang tidak menerapkan sikap Yesus? Bila gereja  tidak peduli pada kaum terpinggir; bila keanggotaan gereja atau kelompok persekutuan kita homogen (ras, tingkat pendidikan, kelompok ekonomi, dlsb.); bila pelayanan dan tata krama gereja disesuaikan dengan zona nyaman orang yang menganggap diri paling tahu dan rohani ketimbang oleh kebutuhan orang yang sering
diabaikan; inilah ciri gereja yang tidak seradikal sikap Yesus yang limpah anugerah!

Yesus mengurbankan kepentingan diri-Nya, merangkul yang lemah, terkulai, dan tak berdaya supaya kemuliaan Allah meraih mereka dan menciptakan umat yang hidup-mati hanya untuk meniru Ia dan memuliakan Allah saja!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/27/
Monday, May 3, 2010

Jangan jadi Tuhan! (Roma 14:1-12)

Ssst! Tahukah Anda siapa-siapa saja di gereja atau persekutuan yang tidak rohani? Coba perhatikan cara berpakaian mereka, cara doa mereka, apa saja yang mereka makan. Psst! Kelompok persekutuan atau gereja mana saja yang tidak rohani? Tradisi ibadah apa saja yang tidak mereka turuti?

Ada berbagai isu yang oleh Alkitab tidak diberikan garis jelas, yang menyebabkan orang Kristen saling menghakimi. Dalam perikop ini Paulus mengacu pada dua isu, soal makanan (ayat 2) dan hari-hari khusus (ayat 5). Perbedaan pendapat muncul karena perbedaan latar belakang kelompok Kristen Yahudi dan bukan Yahudi. Daging yang dijual di tempat umum di kota-kota Romawi-Yunani dianggap tidak halal oleh orang Yahudi. Mungkin karena sudah dipersembahkan di kuil-kuil kafir. Maka orang Kristen Yahudi memiliki keberatan nurani untuk memakan daging. Terjadilah saling tuduh, yang makan daging merasa lebih kuat iman, yang tidak makan merasa lebih rohani. Pertikaian lain adalah di sekitar hari-hari raya. Meski sudah Kristen, orang asal Yahudi masih merayakan hari raya sesuai tradisi keyahudian mereka. Yang tidak berasal dari tradisi sama merasa tidak relevan merayakan hari raya tersebut. Maka terjadi lagi saling tuding. Kalau dibiarkan tentu tak baik bagi keutuhan gereja dan kesaksiannya!

Tentang hal-hal yang Alkitab tidak bicarakan dengan jelas, orang Kristen tak perlu saling menilai. Baik tentang makanan, hari raya, atau isu lain yang seringkali kita tidak sepakat sebab Alkitab tidak menyatakan dengan jelas. Kita harus berlapang dada untuk saling menerima. Bagaimana mempraktikkan sikap toleran ini. Pertama, masing-masing harus melakukan dengan hati yang yakin bukan dalam keraguan. Kedua, masing-masing melakukan dengan mengucap syukur kepada Tuhan. Apa pun perbuatan kita bukan untuk menyenangkan orang lain, tetapi untuk mensyukuri Allah. Ketiga, prinsip terpenting, semua orang harus hidup dalam tanggungjawab kepada Allah (ayat 12). Kita tidak berhak menilai! Jika kita menghakimi, kita mengambil posisi dan hak Allah!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/25/

Menjadi terang (Kisah 13:47)

Alangkah berani khotbah pembelaan Paulus di Antiokhia di Pisidia ini! Ketika sebagian orang Yahudi menolak Injil yang Paulus dan Barnabas beritakan, Paulus mengklaim bahwa Allah telah membuat mereka menjadi terang bagi orang asal kafir. Terjemahan harfiah klaim tersebut bisa seperti ini: "Aku telah menjadikan kamu terang bangsa-bangsa kafir." Mari kita periksa berbagai tekanan dahsyat dalam pernyataan tersebut.

Pertama, untuk para pendengar Paulus, klaim ini merupakan peringatan keras bahkan ultimatum yang tidak main-main. Terang Injil yang Paulus beritakan telah mereka tolak. Maka terang itu digeser dari mereka, tidak lagi menyinari mereka, tetapi sekarang dibawa pergi untuk menyinari bangsa-bangsa yang hidup dalam ketidaktahuan akanAllah. Mengerikan! Umat pilihan Tuhan pun akan mengalami kegelapan jika terus menolak terang Injil!

Kedua, Paulus menegaskan bahwa Allahlah yang telah menetapkan ia menjadi terang bangsa kafir. Tentu kita mengerti bahwa sebagai manusia yang terbatas tidak mungkin Paulus menjadi terang bangsa kafir. Tentu yang dimaksud adalah pelayanan Paulus, Injil yang ia beritakan, Yesus Kristus yang menghasilkan Injil itulah yang
sejatinya terang bangsa kafir. Istilah "terang" ini bisa juga diterjemahkan secara tajam menjadi "keselamatan," maka klaim Paulus itu berbunyi: "Aku telah menjadikan kamu keselamatan bangsa-bangsa kafir!" Hanya Kristus yang hidup dan karya-Nya adalah terang, dapat mengenyahkan kegelapan dosa, menghasilkan hidup yang penuh dengan pengharapan dan berkat.

Meski inti klaim tersebut adalah Kristus, tetap saja kita merasakan betapa agungnya pelayanan mewartakan Injil Yesus Kristus itu. Sebab dengan perkataan dan perilaku kita menyaksikan Yesus Kristus, dengan hidup dan kesaksian kita sedemikian menyatu dengan sang Terang, kita dimuliakan menjadi terang yang membawa pengharapan serta keselamatan kepada orang yang hidup dalam gelap!

Sekitar kita gelap! Kegelapan nurani, moral, juga nalar terjadi akibat orang memberi diri kepa-da dosa. Kristus dalam kita adalah terang untuk kegelapan ini. Bicaralah, bertindaklah, pancar-kan terang Injil dalam hidupmu!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/24/

Otoritas Allah di dalam pemerintah (Roma 13:1-7)

Salah satu partai besar di negara kita beberapa waktu lalu mengadakan pemilihan pemimpin. Kita mendengar bagaimana kompetisi antar calon tak hanya melibatkan kepiawaian menjabarkan visi-misi, tetapi juga kasak-kusuk penggalangan suara dengan iming-iming uang! Bisa kita bayangkan bagaimana dampak permainan kuasa dan politik uang semacam itu ketika mereka duduk dalam pemerintahan! Tak heran bila kita cenderung berpikir negatif tentang pemerintah!

Waktu Paulus menulis surat ini dan memberikan nasihatnya kepada jemaat di Roma, kondisi pemerintah Roma dan aparatnya waktu itu malah lebih buruk lagi. Kita curiga bahwa kehausan akan kuasa dan upaya memperolehnya dengan segala cara, sudah setua usia peradaban manusia. Maka cerita seperti yang terjadi di tanah air kita, pasti terjadi juga di negara lain. Lebih lagi, pada waktu awal Kekristenan, pemerintah Kerajaan Roma tidak bersahabat malah memusuhi orang beriman. Maka banyak alasan sah untuk orang Kristen di kerajaan Roma membangun penilaian buruk dan bersikap negatif terhadap pemerintah Kerajaan Roma.

Bagaimana nasihat firman Tuhan? Orang Kristen diajar tunduk kepada pemerintah dan memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang baik. Alasan firman Tuhan bersifat pragmatis, yaitu pemerintah dibutuhkan supaya dengan pedang yang disandangnya kejahatan dapat diredam (ayat 4). Alasan firman Tuhan juga bersifat prinsip, yaitu bahwa Allah sendiri yang memberikan otoritas pada pemerintah, maka kita harus tunduk kepadanya. Dengan kata lain, tidak menaati pemerintah sama dengan tidak menaati Allah atau menolak otoritas Allah untuk manusia. Bila kita teliti, jelas bahwa firman ini tidak menganjurkan kita menaati secara membabi-buta. Dalam ketundukan mutlak kepada Allah, kita tunduk agar kehormatan dan kebenaran Allah sungguh diberlakukan dalam pemerintah dan kehidupan kita bermasyarakat. Kita tunduk, melakukan kewajiban, dan mendoakan pemerintah agar kebaikan Allah terpancar dalam tatanan sosial manusia.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/22/

Etika kasih dan hukum (Roma 13:8-14)

Menurut Anda mana yang benar: kasih dan hukum adalah alternatif dalam etika Kristen, atau kasih dan hukum adalah dua sisi dari satu kenyataan yang sama? Dalam pengalaman Anda sendiri, sungguhkah kasih dan hukum berjalan serasi dalam perilaku keseharian Anda?

Nasihat Paulus merupakan gema dan uraian lanjut dari ajaran Tuhan Yesus sendiri. Jika orang sungguh mengasihi Allah dan sesama manusia, maka ia pasti menggenapi semua hukum Allah baik yang mencakup relasi dengan Allah maupun dengan sesama (ayat 8-9). Inti dari hidup kudus dan benar adalah kasih kepada Allah dan sesama. Sebaliknya, inti dari semua perbuatan dosa adalah tidak mengasihi. Lebih tajam lagi, semua pelanggaran hukum Allah terhadap sesama disebabkan oleh kasih yang timpang; kasih yang ditujukan hanya
kepada diri sendiri, tetapi tidak didampingi oleh kasih kepada sesama. Sehingga terjadilah hutang kasih, ketimpangan kasih! Karena kasih ditujukan hanya pada diri sendiri, kasih merosot menjadi egoistis dan penuh hasrat liar yang merendahkan orang lain. Karena egoistis, orang melakukan berba-gai perbuatan yang adalah lawan dari kasih kepada sesama. Maka terjadilah pelanggaran hukum dalam wilayah sosial.

Jawaban untuk kejahatan sosial tidak cukup dengan law enforcement (pelaksanaan hukum secara tegas), tetapi harus didorong oleh love enforcement (memberlakukan kasih secara gigih). Hukum bukan sumber etika, tetapi rambu atau kerangka etika. Nafas yang menghasilkan kehidupan etis adalah kasih kepada Allah dan sesama seperti kepada diri sendiri. Apabila kita menekankan pelaksanaan hukum tanpa motivasi kasih, kita akan "kudus" tetapi munafik atau "benar" tetapi legalistis. Sebaliknya menekankan kasih tanpa peduli hukum akan menciptakan kekacauan moral dan kemerosotan kasih menjadi kasih yang egoistis atau hasrat pemuasan nafsu secara liar. Etika Kristen memberi jawaban indah dan kuat. Kita harus melunasi hutang kasih kita kepada sesama; kasih yang lengkap dan utuh ini serasi dengan perilaku manusia terang!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/23/
Wednesday, April 28, 2010

Ketika kita sungguh mengasihi (Roma 12:9-21)

Betapa ajaib sikap dan tindakan Tuhan Yesus, ketika Ia dalam kasih mengerjakan rencana penyelamatan Allah untuk kita. Akan dahsyat juga kenyataan hidup dan pelayanan kita, bila kasih yang sama kita izinkan beroperasi nyata!

Apa saja wujud kasih dalam kehidupan dan pelayanan kita? Pertama, kasih serasi dengan kekudusan dan kebaikan. Kasih akan membuat kita tidak menjahati sesama, tetapi melakukan hal yang membangun dan membuat indah hidup sesama. Kedua, kasih menempatkan penilaian tentang diri dan sesama jadi serasi dengan penilaian Allah terhadap setiap orang (ayat 16). Kasih tak salah menilai baik diri sendiri maupun orang lain; maka ia tak meninggikan atau merendahkan diri maupun orang lain. Kasih akan menghasilkan suasana saling menghormati. Menghormati orang lain bukan karena kapasitas manusiawi, tetapi karena penilaian Allah sendiri. Ketiga, menyadari besarnya kasih Allah kita akan mengasihi Dia dalam semangat yang menyala-nyala (ayat 11). Orang yang melayani dengan semangat, kesungguhan, dan daya besar adalah orang yang merespons kasih Kristus dengan benar.

Paulus juga menunjukkan bagaimana kenyataan konkret kasih ketika orang menghadapi masalah, dan dalam kehidup-an bersama. Ketika kita diizinkan Allah menanggung kesusahan hidup, kasih akan membuat kita tetap berpengharapan dan menanggung dengan sabar sambil terus berdoa. Orang yang hidup dalam kasih Kristus selalu melimpah dengan sikap beranugerah kepada sesama. Kristus memberi diri-Nya dan dengan berkurban membuat anugerah Allah menjadi pengalaman kita; demikian juga kasih yang sama membuat kita selalu ingin memberkati, berbagi, bukan mengutuk, apalagi membalas jahat dengan jahat! Orang percaya yang konse-kuen melanjutkan kasih Kristus dalam hidup keseharian akan berdaya besar menaklukkan kejahatan
dengan kebaikan.

Kasih Kristus sudah kita terima. Jangan berhenti hanya pada pengakuan dan ucapan syukur. Lanjutkan dengan hidup sebagai instrumen kasih!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/21/

Karena bukan milik sendiri, kita melayani (Roma 12:1-8)

Tahukah Anda ciri apa yang ada pada orang yang mengalami kemurahan Allah, dalam gaya hidup keseharian dan dalam konteks persekutuan? Ia insyaf bahwa dirinya bukan lagi miliknya. Maka ada dorongan kuat untuk memberi, memberkati, dan melayani sesamanya! Inikah ciri kita?

Orang Kristen adalah orang yang telah mengalami transformasi. Transformasi itu menyangkut sikap dan prinsip hidup terdalam yang akhirnya mewujud dalam keseharian. Hidup kita bukan lagi milik kita sendiri, tetapi milik Kristus. Itu logis, sebab Kristus telah membeli kita dari perbudakan kejahatan, dengan kurban nyawa-Nya sendiri. Kita merespons fakta ini secara sadar tiap hari dengan jalan menyerahkan hidup sepenuhnya menjadi milik Yesus, Penebus kita. Dengan keputusan secara sadar, kita memberlakukan transformasi roh secara terus menerus dalam perilaku fisik kita. Kita tak lagi hidup mengikuti hasrat diri dan dunia, tetapi berusaha agar kehendak-Nya digenapi dalam diri kita (ayat 2).

Sikap hidup yang terus menerus menjalani transformasi anugerah serasi dengan gairah untuk melayani. Kita percaya bahwa dalam rencana-Nya, Allah bukan saja menganugerahkan keselamatan, juga menganugerahkan rupa-rupa kapasitas untuk melayani. Di balik pemberian berbagai karunia pelayanan yang berbeda, ada maksud besar Allah untuk gereja-Nya yaitu agar Gereja berfungsi sebagai Tubuh Kristus di dunia ini. Gereja yang sanggup berperan sebagai kehadiran Kristus dalam dunia ini, haruslah gereja yang benar-benar hidup. Yaitu gereja yang di dalamnya berbagai wujud pelayanan anugerah Allah dipraktikkan secara aktif. Karena kita bukan lagi milik sendiri, tetapi milik sang Penebus, kita mensyukuri tiap karunia yang telah Ia percayakan kepada kita.

Sebagai bagian dari Tubuh Kristus, kita tidak saling bersaing dan iri, tetapi dengan penuh syukur akan keistimewaan karunia-Nya untuk masing-masing, kita saling berbagi pelayanan! Hanya dengan memberi diri dalam pelayanan, kita menemukan keistimewaan karunia yang Ia berikan pada kita!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/20/
Friday, April 23, 2010

Berintegritas di tengah kebobrokan (Matius 27:57-66)

Mempertahankan hidup yang penuh integritas dan berani tampil beda di tengah manusia, dunia atau sistem yang sudah rusak oleh dosa tidaklah mudah. Tidak sedikit orang yang akhirnya terseret mengikuti arus dunia sehingga menjadi orang yang gagap atau hidup menurut kelakuan orang fasik.

Dosa merusak segala aspek kehidupan, termasuk aspek keagamaan. Sebagai bukti, Mahkamah Agama Yahudi yang hidup penuh kemunafikan. Sehari- hari mereka mengajarkan hukum Taurat dengan berbagai tradisi ketat buatan mereka sendiri. Namun mereka sendiri yang melanggarnya. Mereka tidak puas dengan hanya berhasil membunuh Yesus, mereka ingin memastikan tubuh Yesus yang dikubur tidak dicuri oleh para
murid. Mereka rela melanggar hukum Sabat dengan meminta kepada Pilatus untuk mendapatkan penjaga dan segel (ay. 62 mengatakan "keesokan hari sesudah hari persiapan" berarti hari Sabat). Dahulu mereka mengecam Yesus sebagai pelanggar hari Sabat (ayat 12:2, 10). Kini, bahkan mereka terjun langsung melanggar peraturan mereka sendiri dengan melakukan dan mengatur penjagaan tersebut (ayat 66).

Sebaliknya, Yusuf yang termasuk anggota Mahkamah Agama, berani tampil beda (Luk. 23:50) Ia tidak menyetujui pembunuhan Yesus (Luk. 23:51). Ia berani menyatakan bahwa dirinya adalah murid Yesus dan ia tidak takut dibenci dan dikucilkan oleh rekan-rekannya di Mahkamah Agama Yahudi. Ia menyatakan kasih yang penuh pengorbanan dengan meminta izin dari Pilatus untuk mengurusi mayat Yesus serta mempersembahkan kuburan yang terbaik dan masih baru untuk Dia.

Demikian juga dengan perempuan-perempuan yang menyaksikan peristiwa penyaliban, mereka hadir terus untuk menunjukkan kasih dan hormat mereka pada Sang Guru. Justru, sebaliknya kesebelas murid Yesus tak satu pun yang muncul.

Janganlah sampai Anda terjebak kemunafikan seperti para pemuka agama Yahudi atau kepengecutan para murid, Sebaliknya teladani Yusuf yang tulus dan berintegritas dan para perempuan yang tetap hadir saat Tuhan mereka disalib.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/05/

Kemunafikan vs Kasih (Matius 22:15-40)

Menurut Anda pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pemuka agama secara silih berganti kepada Yesus apakah jujur dan tulus untuk mengenal dan mendapatkan kebenaran? Dari cara Tuhan Yesus merespons kita tahu bahwa jawabannya tidak!

Orang Farisi bisa bersekutu dengan orang Herodian ada-lah suatu hal yang luar biasa. Orang Farisi biasanya membenci orang Herodian karena mereka dianggap pro-pemerintah, sedangkan biasanya orang Farisi pro- rakyat. Namun demi menjatuhkan Yesus, mereka bersekongkol dengan pertanyaan yang menjebak, yaitu apakah seorang Yahudi boleh membayar pajak kepada Kaisar. Jawaban Yesus menegaskan integritas-Nya dan juga tuntutan integritas pada semua orang yang mengikut Dia.

Orang Saduki memang tidak percaya akan kebangkitan orang mati. Pertanyaan mereka mengenai siapa yang akan menjadi suami pada hari kebangkitan (ayat 24-28) bukan sedang mencari jawaban kebenaran, tetapi menjebak Yesus secara teologis. Jawaban Yesus jelas menegaskan prinsip Alkitab menafsirkan Alkitab serta Dialah Firman Hidup.

Jawaban Yesus atas pertanyaan seorang ahli Taurat mengenai hukum yang terutama, menukik tajam kepada permasalahan dari para pemuka agama Yahudi tersebut. Kasih adalah rangkuman dari semua pengajaran Taurat. Taurat tidak mengajarkan legalisme ataupun ektremisme, tetapi hukum kasih. Aturan dibuat bukan untuk mengekang tindak tanduk seseorang melainkan untuk membentuk motivasi dan tujuan dia bertindak.

Dorongan untuk menjebak seseorang bukan keluar dari kasih kepada Allah apalagi kepada sesama. Kemunafikan seperti itu harus disadari dan orang yang munafik harus bertobat. Ia perlu belajar mengasihi Allah, dengan menerima dan melakukan kebenaran. Ia perlu belajar mengasihi sesama, sehingga tidak marah malah bersyukur kalau Tuhan memakai sesamanya untuk menegur dirinya!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/11/