Wednesday, April 28, 2010

Ketika kita sungguh mengasihi (Roma 12:9-21)

Betapa ajaib sikap dan tindakan Tuhan Yesus, ketika Ia dalam kasih mengerjakan rencana penyelamatan Allah untuk kita. Akan dahsyat juga kenyataan hidup dan pelayanan kita, bila kasih yang sama kita izinkan beroperasi nyata!

Apa saja wujud kasih dalam kehidupan dan pelayanan kita? Pertama, kasih serasi dengan kekudusan dan kebaikan. Kasih akan membuat kita tidak menjahati sesama, tetapi melakukan hal yang membangun dan membuat indah hidup sesama. Kedua, kasih menempatkan penilaian tentang diri dan sesama jadi serasi dengan penilaian Allah terhadap setiap orang (ayat 16). Kasih tak salah menilai baik diri sendiri maupun orang lain; maka ia tak meninggikan atau merendahkan diri maupun orang lain. Kasih akan menghasilkan suasana saling menghormati. Menghormati orang lain bukan karena kapasitas manusiawi, tetapi karena penilaian Allah sendiri. Ketiga, menyadari besarnya kasih Allah kita akan mengasihi Dia dalam semangat yang menyala-nyala (ayat 11). Orang yang melayani dengan semangat, kesungguhan, dan daya besar adalah orang yang merespons kasih Kristus dengan benar.

Paulus juga menunjukkan bagaimana kenyataan konkret kasih ketika orang menghadapi masalah, dan dalam kehidup-an bersama. Ketika kita diizinkan Allah menanggung kesusahan hidup, kasih akan membuat kita tetap berpengharapan dan menanggung dengan sabar sambil terus berdoa. Orang yang hidup dalam kasih Kristus selalu melimpah dengan sikap beranugerah kepada sesama. Kristus memberi diri-Nya dan dengan berkurban membuat anugerah Allah menjadi pengalaman kita; demikian juga kasih yang sama membuat kita selalu ingin memberkati, berbagi, bukan mengutuk, apalagi membalas jahat dengan jahat! Orang percaya yang konse-kuen melanjutkan kasih Kristus dalam hidup keseharian akan berdaya besar menaklukkan kejahatan
dengan kebaikan.

Kasih Kristus sudah kita terima. Jangan berhenti hanya pada pengakuan dan ucapan syukur. Lanjutkan dengan hidup sebagai instrumen kasih!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/21/

Karena bukan milik sendiri, kita melayani (Roma 12:1-8)

Tahukah Anda ciri apa yang ada pada orang yang mengalami kemurahan Allah, dalam gaya hidup keseharian dan dalam konteks persekutuan? Ia insyaf bahwa dirinya bukan lagi miliknya. Maka ada dorongan kuat untuk memberi, memberkati, dan melayani sesamanya! Inikah ciri kita?

Orang Kristen adalah orang yang telah mengalami transformasi. Transformasi itu menyangkut sikap dan prinsip hidup terdalam yang akhirnya mewujud dalam keseharian. Hidup kita bukan lagi milik kita sendiri, tetapi milik Kristus. Itu logis, sebab Kristus telah membeli kita dari perbudakan kejahatan, dengan kurban nyawa-Nya sendiri. Kita merespons fakta ini secara sadar tiap hari dengan jalan menyerahkan hidup sepenuhnya menjadi milik Yesus, Penebus kita. Dengan keputusan secara sadar, kita memberlakukan transformasi roh secara terus menerus dalam perilaku fisik kita. Kita tak lagi hidup mengikuti hasrat diri dan dunia, tetapi berusaha agar kehendak-Nya digenapi dalam diri kita (ayat 2).

Sikap hidup yang terus menerus menjalani transformasi anugerah serasi dengan gairah untuk melayani. Kita percaya bahwa dalam rencana-Nya, Allah bukan saja menganugerahkan keselamatan, juga menganugerahkan rupa-rupa kapasitas untuk melayani. Di balik pemberian berbagai karunia pelayanan yang berbeda, ada maksud besar Allah untuk gereja-Nya yaitu agar Gereja berfungsi sebagai Tubuh Kristus di dunia ini. Gereja yang sanggup berperan sebagai kehadiran Kristus dalam dunia ini, haruslah gereja yang benar-benar hidup. Yaitu gereja yang di dalamnya berbagai wujud pelayanan anugerah Allah dipraktikkan secara aktif. Karena kita bukan lagi milik sendiri, tetapi milik sang Penebus, kita mensyukuri tiap karunia yang telah Ia percayakan kepada kita.

Sebagai bagian dari Tubuh Kristus, kita tidak saling bersaing dan iri, tetapi dengan penuh syukur akan keistimewaan karunia-Nya untuk masing-masing, kita saling berbagi pelayanan! Hanya dengan memberi diri dalam pelayanan, kita menemukan keistimewaan karunia yang Ia berikan pada kita!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/20/
Friday, April 23, 2010

Berintegritas di tengah kebobrokan (Matius 27:57-66)

Mempertahankan hidup yang penuh integritas dan berani tampil beda di tengah manusia, dunia atau sistem yang sudah rusak oleh dosa tidaklah mudah. Tidak sedikit orang yang akhirnya terseret mengikuti arus dunia sehingga menjadi orang yang gagap atau hidup menurut kelakuan orang fasik.

Dosa merusak segala aspek kehidupan, termasuk aspek keagamaan. Sebagai bukti, Mahkamah Agama Yahudi yang hidup penuh kemunafikan. Sehari- hari mereka mengajarkan hukum Taurat dengan berbagai tradisi ketat buatan mereka sendiri. Namun mereka sendiri yang melanggarnya. Mereka tidak puas dengan hanya berhasil membunuh Yesus, mereka ingin memastikan tubuh Yesus yang dikubur tidak dicuri oleh para
murid. Mereka rela melanggar hukum Sabat dengan meminta kepada Pilatus untuk mendapatkan penjaga dan segel (ay. 62 mengatakan "keesokan hari sesudah hari persiapan" berarti hari Sabat). Dahulu mereka mengecam Yesus sebagai pelanggar hari Sabat (ayat 12:2, 10). Kini, bahkan mereka terjun langsung melanggar peraturan mereka sendiri dengan melakukan dan mengatur penjagaan tersebut (ayat 66).

Sebaliknya, Yusuf yang termasuk anggota Mahkamah Agama, berani tampil beda (Luk. 23:50) Ia tidak menyetujui pembunuhan Yesus (Luk. 23:51). Ia berani menyatakan bahwa dirinya adalah murid Yesus dan ia tidak takut dibenci dan dikucilkan oleh rekan-rekannya di Mahkamah Agama Yahudi. Ia menyatakan kasih yang penuh pengorbanan dengan meminta izin dari Pilatus untuk mengurusi mayat Yesus serta mempersembahkan kuburan yang terbaik dan masih baru untuk Dia.

Demikian juga dengan perempuan-perempuan yang menyaksikan peristiwa penyaliban, mereka hadir terus untuk menunjukkan kasih dan hormat mereka pada Sang Guru. Justru, sebaliknya kesebelas murid Yesus tak satu pun yang muncul.

Janganlah sampai Anda terjebak kemunafikan seperti para pemuka agama Yahudi atau kepengecutan para murid, Sebaliknya teladani Yusuf yang tulus dan berintegritas dan para perempuan yang tetap hadir saat Tuhan mereka disalib.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/05/

Kemunafikan vs Kasih (Matius 22:15-40)

Menurut Anda pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pemuka agama secara silih berganti kepada Yesus apakah jujur dan tulus untuk mengenal dan mendapatkan kebenaran? Dari cara Tuhan Yesus merespons kita tahu bahwa jawabannya tidak!

Orang Farisi bisa bersekutu dengan orang Herodian ada-lah suatu hal yang luar biasa. Orang Farisi biasanya membenci orang Herodian karena mereka dianggap pro-pemerintah, sedangkan biasanya orang Farisi pro- rakyat. Namun demi menjatuhkan Yesus, mereka bersekongkol dengan pertanyaan yang menjebak, yaitu apakah seorang Yahudi boleh membayar pajak kepada Kaisar. Jawaban Yesus menegaskan integritas-Nya dan juga tuntutan integritas pada semua orang yang mengikut Dia.

Orang Saduki memang tidak percaya akan kebangkitan orang mati. Pertanyaan mereka mengenai siapa yang akan menjadi suami pada hari kebangkitan (ayat 24-28) bukan sedang mencari jawaban kebenaran, tetapi menjebak Yesus secara teologis. Jawaban Yesus jelas menegaskan prinsip Alkitab menafsirkan Alkitab serta Dialah Firman Hidup.

Jawaban Yesus atas pertanyaan seorang ahli Taurat mengenai hukum yang terutama, menukik tajam kepada permasalahan dari para pemuka agama Yahudi tersebut. Kasih adalah rangkuman dari semua pengajaran Taurat. Taurat tidak mengajarkan legalisme ataupun ektremisme, tetapi hukum kasih. Aturan dibuat bukan untuk mengekang tindak tanduk seseorang melainkan untuk membentuk motivasi dan tujuan dia bertindak.

Dorongan untuk menjebak seseorang bukan keluar dari kasih kepada Allah apalagi kepada sesama. Kemunafikan seperti itu harus disadari dan orang yang munafik harus bertobat. Ia perlu belajar mengasihi Allah, dengan menerima dan melakukan kebenaran. Ia perlu belajar mengasihi sesama, sehingga tidak marah malah bersyukur kalau Tuhan memakai sesamanya untuk menegur dirinya!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/11/

Penolakan vs Pernyataan Kasih (Matius 26:1-16)

Dari pemberitahuan Yesus kepada para murid-Nya mengenai begitu dekatnya Ia pada salib (ayat 2), menunjukkan bahwa Yesus tahu dan pegang kendali atas apa yang akan terjadi pada diri-Nya. Itu berarti, apa yang sedang disepakati oleh para imam kepala dan tua-tua untuk mencari jalan menangkap Yesus (ayat 3-5) maupun rencana pengkhianatan Yudas (ayat 14-16), tidaklah mengejutkan Dia.

Penulis Matius dengan lugas mengontraskan rencana keselamatan Allah untuk manusia melalui Yesus dengan rencana jahat para pemimpin agama untuk menyingkirkan Yesus. Matius tidak hanya mengontraskan, tetapi juga memadukannya. Kelicikan Kayafas, yang dipaparkan oleh sejarawan Yahudi yang terkenal yaitu Yosefus, mewakili kedengkian para pemimpin agama Yahudi. Pengkhianatan Yudas mewakili ketamakan manusia. Keduanya dipakai Allah untuk menggenapkan maksud-Nya, yaitu penyelamatan umat manusia dari belenggu dosa melalui kematian Yesus.

Secara indah Matius menyelipkan kisah yang mengharukan mengenai pengurapan Yesus di antara intrik-intrik para musuh-Nya. Ternyata di tengah kedengkian dan ketamakan mereka, ada kasih yang tulus dan yang penuh kemurahan dicurahkan kepada Yesus. Sikap para murid yang mengecam tindakan kasih itu sebagai pemborosan merupakan tanda bahwa mereka pun tak beda dari Yudas, memandang Yesus semata-mata dari sudut pandang kepentingan diri sendiri. Hanya Yesus yang melihat keluhuran pemberian kasih itu dan menyatakan pujian-Nya (ayat 10-13).

Di minggu-minggu sengsara ini, mari kita memeriksa hati kita. Jangan- jangan seperti para musuh Yesus, yang hati dan pikirannya terobsesi untuk kepentingan diri. Atau kita sedang menghayati kasih pengurbanan Kristus sehingga, seperti wanita yang tak disebut namanya oleh Matius ini, kita memberi respons terhadap kasih Yesus yang dicurahkan pada kita, merespons dengan kasih yang tulus dan yang tidak pernah berlebihan!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/25/

Gagal dan BANGKIT Lagi (Matius 26:69-27:10)

Mengapa Petrus jatuh pada dosa menyangkali Yesus? Mengapa Yudas tega menjual Yesus demi tiga puluh keping perak? Petrus tidak berani menunjukkan identitasnya sebagai pengikut Yesus. Ia takut ditangkap dan mengalami hal yang sama dengan yang Gurunya alami. Padahal ia pernah sesumbar tak akan lari menghindari bahaya (ayat 26:33, 35). Dalam belas kasih Tuhan, kokok ayam menyadarkan Petrus akan kegagalan tersebut sehingga ia menangis tersedu-sedu. Syukur kemudian ia bertobat. Apa yang dinubuatkan Yesus tergenapi sudah (ayat 26:34).

Yudas menjual Yesus karena memang hatinya dikuasai materi. Demi hanya tiga puluh keping perak (syikal), yang hanya dapat mengupahi pekerja harian selama enam puluh hari, Yudas rela menyerahkan sang Guru ke tangan para musuh. Sayangnya ketika ia sadar dan menyesali kekeliruannya itu ia bukan bertobat melainkan bunuh diri. Inipun menggenapi nubuat Yesus di pasal 26:24.

Banyak orang Kristen juga jatuh seperti Petrus atau Yudas, menyangkali atau menjual Tuhan Yesus. Akar permasalahan mereka adalah mereka tidak memiliki iman yang teguh kepada Tuhan. Mereka tidak peka terhadap peringatan firman Tuhan. Mereka mengandalkan kekuatan sendiri daripada mengandalkan kasih karunia dan kuasa Allah dalam doa dan permohonan. Mereka hanya mau mengikut Yesus tanpa memikul salib. Mereka mengejar materi dan kenikmatan duniawi, sehingga membuka kesempatan untuk digoda oleh si jahat.

Bila kita adalah orang-orang yang pernah gagal seperti Petrus dan Yudas. Marilah menyesali perbuatan kita dengan sungguh-sungguh, bertobat dan kembali kepada Tuhan, maka Ia akan memulihkan kita (lih. Yoh. 21). Janganlah kita memilih jalan Yudas yang menyesal dan merasa bersalah atas perbuatannya yang membuat Yesus yang benar harus mati, tetapi ia tidak mencari pengampunan Tuhan malahan menutupi rasa bersalahnya dengan bunuh diri. 
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/30/

Yesus terang Dunia (Yohanes 8:12)

Bagaimanakah suasana hati kebanyakan orang hari-hari ini bila menyimak berbagai peristiwa yang terjadi? Perhatikan kebanyakan wajah orang ketika mendengar atau membaca berita. Apakah wajah mereka ceria atau terbersit rona emosi negatif? Dalam suasana seperti ini, apa tindakan paling penting yang dapat orang Kristen buat untuk orang yang kita jumpai sehari-hari? Apa kiranya respons orang bila kita melakukan apa yang kita anggap penting tadi?

Orang makin sadar bahwa zaman kini makin mengerikan dan gelap. Kejahatan moral antar manusia semakin menjadi-jadi. Banyak tempat umum seperti tempat belanja, halte bus, kendaraan umum, atau jalan yang tidak aman. Banyak tempat yang seharusnya menumbuhkan kemanusiaan, seperti sekolah, rumah ibadat, atau kantor justru di dalamnya terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Berbagai berita tentang kejahatan yang dilakukan di antara pihak-pihak yang berhubungan keluarga seperti ayah kepada anak, kakek kepada cucu, membuat kita pedih.

Yesus adalah terang dunia. Klaim-Nya itu dahsyat. Pertama, Ia menggunakan ungkapan "Aku adalah," identik dengan penyataan Nama Allah kepada Musa (Kel. 3:14). Dengan menyebut diri-Nya "Aku adalah" para pendengar Yahudi dapat menyimpulkan bahwa Yesus sedang mengklaim diri identik dengan Yang berbicara kepada Musa. Kedua, penggunaan terang muncul dalam pujian nubuatan mesianis Daniel (Dan. 2:22). Sifat terang Allah yang Mahatahu, kudus menyingkap segala yang tersembunyi, yang melihat secara jelas apa yang akan terjadi, yang oleh-Nya kehidupan boleh berlangsung, ada pada Ia yang diurapi yaitu sang Mesias. Klaim Yesus jelas, pelepasan, pembaruan, dan pengharapan zaman baru seperti yang YHWH janjikan melalui Mesias, digenapi oleh-Nya.

Yesuslah yang diperlukan dunia gelap kini! Ia mengampuni dan membarui hidup seperti yang ia nyatakan kepada perempuan yang berzinah itu. Ia juga sanggup menerangi jalan hidup setiap orang yang mengikut Dia. Meski pasti akan ada banyak orang yang meragukan dan menolak, satu-satunya pengharapan dunia ini perlu kita bagikan dan saksikan kepada sesama kita!
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/06/
Thursday, April 22, 2010

Mengenai Kemunafikan (Matius 23:13-36)

Ketika kita mendengar istilah ahli Taurat dan orang Farisi, biasanya kita berpikir negatif mengenai orang-orang munafik. Di perikop ini, Yesus mengecam para ahli Taurat dan orang Farisi karena kemunafikan mereka.

Pertama, mereka sangat ekslusif di dalam menentukan siapa yang berhak menjadi anggota Kerajaan Sorga (ayat 13). Mereka secara sangat legalistik menentukan siapa yang tahir dan yang najis, apa yang halal dan yang haram. Yesus menilai mereka sebagai berpikiran sempit dan berstandar ganda. Contoh klasik adalah kisah Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat (ayat 12:9-14).

Kedua, ahli Taurat dan orang Farisi sangat rakus. Mereka menjarah rumah janda-janda. Mereka tidak malu-malu melantunkan doa yang panjang-panjang di depan umum untuk mengelabui khalayak ramai dari pemerasan dan penjarahan yang mereka lakukan (ayat 14). Mereka mendewakan ritual keagamaan, tetapi mencelakai sesamanya yang lemah. Mereka mencari jiwa bukan untuk dimuridkan, melainkan untuk disesatkan (ayat 15).

Ketiga, ahli Taurat dan orang Farisi terjebak di dalam budaya ritual- legalistik yang membutakan mata dan membodohkan mereka di dalam melihat spiritualitas yang utuh. Mereka merasa puas dan merasa benar dengan melakukan ritual keagamaan yang minimalis asal terlihat baik, dan yang bersifat sepotong-sepotong, misalnya dalam hal bersumpah (ayat 16-22), kewajiban memberikan perpuluhan (ayat 23), menghakimi (ayat 24), dan kesucian hidup (ayat 25-26). Mereka mempraktikkan ritual keagamaan yang terpisah dari kehidupan batin yang bersih dan kehidupan sesehari dengan sesama. Kemunafikan mereka adalah hidup yang dipimpin oleh ritual keagamaan yang terpisah dari kehidupan batin yang bersih dan kasih kepada sesama manusia.

Bacalah perikop ini untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Dan izinkan Tuhan memeriksa hati kita serta mengawasi pengajaran, tindakan dan perbuatan kita.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/15/

Melayani yang Hina dan Miskin (Matius 25:31-46)

Domba sering dilukiskan sebagai umat yang baik, sedangkan kambing mengilustrasikan umat yang jahat. Demikianlah pada penghakiman yang terakhir, Tuhan akan menghakimi umat-Nya seperti gembala memisahkan domba dari kambing (ayat 32). Domba-domba menerima kerajaan yang telah disediakan (ayat 34), sedangkan kambing- kambing dihukum dalam api kekal bersama Iblis dan malaikat-malaikatnya (ayat 41).

Apakah dasar penghakiman Tuhan? Orang yang benar dalam perumpamaan ini bersedia melakukan pelayanan yang tidak populer, yaitu memberi makan orang lapar, memberi minum orang haus, memberi tumpangan bagi orang asing, memberi pakaian orang yang telanjang, melawat orang sakit, dan mengunjungi orang yang dipenjara. Pelayanan- pelayanan ini penting di mata Tuhan (ayat 35-40; 42-45).

Yang menarik dari kisah ini adalah: yang benar merasa tidak benar(ayat 37-39), sebaliknya yang tidak benar merasa benar (ayat 44). Ini adalah masalah arogansi rohani. Akan banyak orang yang merasa diri rohani, tetapi di mata Tuhan mereka adalah orang yang jahat. Orang yang demikian tidak lain adalah orang munafik, yang mencari pengakuan publik akan apa yang diperbuatnya. Sebaliknya ada banyak orang yang merasa diri tidak benar, tetapi sebenarnya di mata Tuhan mereka mengerjakan hal-hal yang benar.

Tidak banyak orang yang suka melayani orang-orang yang tersingkir dan hina. Justru kesukaan dan kesetiaan dalam melayani mereka yang hina ini (ayat 40, 45) merupakan tanda bahwa seseorang sudah menjadi anak Tuhan. Hanya yang pernah dilayani Tuhan pada saat dirinya masih hina dan berdosa, yang punya hati tulus untuk melayani siapa saja tanpa pandang bulu.

Kalau Yesus sudah mengidentifikasikan diri-Nya dengan mereka yang miskin dan terhina, siapakah kita yang merasa terlalu tinggi untuk melayani mereka? Kalau kita merasa seperti itu, jangan-jangan kita belum menjadi milik Kristus, sehingga kita tidak memiliki hati Kristus yang penuh kasih.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/24/

Panggilan untuk Bertobat (Yehezkiel 18:30)

Mengapa bila Allah dalam Yesus telah menyediakan anugerah keselamatan, kita tetap dituntut untuk bertobat? Bukankah anugerah berarti kita membawa segala kegagalan kita dan tanpa andil apa pun menerima
keselamatan dari-Nya? Apakah anugerah Allah dan pertobatan kita tidak menjadi kontradiksi?

Kita perlu mengerti bahwa Allah sendiri "bertobat" dalam sikap-Nya terhadap dosa manusia. Akar kata bertobat (bhs. Ibr.) berarti menyesal, mengeluh, meratap. Allah bukan Allah yang tidak terpengaruh dan tidak peduli tentang kejahatan manusia, serta bagaimana kejahatan itu merusak kehidupan manusia. Alkitab mengungkapkan berbagai reaksi emosional Allah terhadap dosa. Yaitu penyesalan-Nya tentang kondisi manusia yang menyimpang dari yang Ia kehendaki, dan penyesalan yang membuat Ia bertekad untuk tidak membiarkan proses kehancuran itu tetap berlangsung. Inilah yang sesungguhnya melahirkan anugerah Allah kepada manusia. Anugerah- Nya menginginkan manusia berubah!

Bertobat berarti berubah. Berubah sikap terhadap Allah dan terhadap dosa. Semua dosa adalah perlawanan kepada Allah. Ketika kita berdosa kita menantang, mengejek, dan menolak Allah dari hidup kita. Orang yang berdosa menyerahkan hasrat dan cintanya kepada sesuatu yang bukan kehendak Allah. Semua ini kita tinggalkan. Kita bertobat, berubah sikap terhadap Allah, tentang dosa, dan tentang hasrat dosa kita! Bertobat juga berubah arah dalam perjalanan hidup kita. Berubah sikap menghasilkan perubahan orientasi hidup. Pikiran, kehendak, perasaan, penilaian, imajinasi dan arah perhatian kita tidak lagi berporoskan "aku dengan hasrat-hasratnya yang salah" tetapi Allah, kehendak dan kebenaran-Nya. Bertobat berarti berubah perilaku. Perpalingan orientasi hidup membuat perjalanan kehidupan keseharian kita berubah arah dan isi! Dalam perpalingan menyeluruh yang terus berproses nyata, kita menjalani kehidupan ke arah Allah, perjalanan hidup baru!

Pertobatan kita sesungguhnya adalah merespons anugerah Allah. Anugerah yang memanggil kita untuk bertobat, kini memberdayakan orang yang menyambut panggilan itu.
Wednesday, April 21, 2010

Hamba Yang Setia dan Bijaksana (Matius 24:37-51)

Peristiwa Akhir Zaman tidak dapat dipisahkan dari penghakiman. Di perikop ini, nasihat untuk berjaga-jaga diberikan dalam konteks penghakiman. Dengan menggunakan kisah Nuh, Yesus menyatakan bahwa penghakiman terjadi secara tiba-tiba (ayat 37-39).

Penghakiman juga memecahkan rutinitas pekerjaan kita sehari-hari (ayat 40-42). Penghakiman dapat datang setiap waktu, tidak hanya pada hari libur, tetapi juga pada jam kerja. Teman sekerja yang setiap hari bertemu, secara tiba-tiba dapat dipisahkan oleh penghakiman Ilahi. Kedatangan Anak Manusia juga dilukiskan seperti seorang pencuri yang membongkar rumah. Berbeda dengan tamu, pencuri datang di saat yang tidak lazim, ketika pemilik rumah lengah atau tengah beristirahat (ayat 43-44). Contoh-contoh yang diberikan Yesus menunjukkan pertama, betapa hari penghakiman itu tidak dapat diterka. Hari itu dapat datang setiap saat. Kedua, betapa penghakiman Ilahi itu mutlak. Ketiga, betapa kita sekali lagi dinasihatkan untuk berjaga-jaga.
Sikap berjaga-jaga dijelaskan sebagai sikap hamba yang setia dan bijaksana (ayat 45). Setia berarti tetap melaksanakan tugas kapanpun waktunya, sehingga pada saat tuannya datang, ia puas melihat kesetiaan hambanya. Bijaksana berarti benar-benar mengerjakan tugas yang diberikan tuannya, bukan kegiatan yang lain. (ayat 45-47). Sebaliknya, hamba yang jahat adalah hamba yang tidak setia. Karena melihat tuannya tidak ada, ia menyepelekan tugas yang diberikan tuannya, mengganggu hamba yang lain, dan bermabuk-mabukan (ayat 48-50). Hamba yang jahat disetarakan dengan orang munafik (lih. pasal 23), yang adalah gambaran pemuka agama Yahudi, yang berbuat baik hanya ketika dilihat orang dan untuk mencari pujian.

Doa: Tuhan, jadikan aku hamba-Mu yang setia dan bijaksana, meskipun aku tidak tahu kapan Engkau akan datang; Biarlah aku merendahkan diri dan taat mengerjakan apa yang Engkau telah firmankan di setiap saat.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/03/21/
Tuesday, April 20, 2010

Pilihan Allah (Roma 9:1-18)

Israel adalah bangsa pilihan Allah, pewaris perjanjian Allah. Dari merekalah akan lahir Mesias, sang Jurusela-mat. Mereka memiliki hak istimewa untuk menjadi saksi mata penyataan kemuliaan Allah, terutama ketika mereka keluar dari Mesir. Allah memilih Israel untuk menjadi kerajaan imam (Kel. 19:5-6) untuk membawa bangsa-bangsa kepada Allah (Yes. 42:6). Semua keistimewaan ini tidak diperoleh bangsa lain. Walau demikian mereka menolak Yesus Kristus, Anak Allah. Mereka malah menyalibkan Dia, yang akan menyelamatkan mereka. Penolakan ini berdampak fatal bagi mereka.

Israel sendiri seolah tutup mata terhadap fakta tersebut. Mereka membanggakan diri sebagai keturunan Abraham dan umat pilihan. Padahal pilihan Allah atas Israel bukan hanya karena faktor keturunan (ayat 6-10). Ingatlah bagaimana Allah memilih Ishak dan bukan Ismael, memilih Esau dan bukan Yakub. Jadi tidak semua keturunan Abraham merupakan pewaris perjanjian. Orang tidak bisa menyatakan diri sebagai pewaris berkat Allah hanya karena ia keturunan orang yang diberkati Allah. Fakta bahwa Allah memilih yang satu dan bukan yang lain sama sekali tidak memperlihatkan ketidak-adilan Allah. Allah yang kudus tidak mungkin bertindak tidak adil. Masalah pilihan adalah masalah kasih karunia. Kemurahan dan belas kasihan Allah diberikan menurut kehendak Allah dan bukan kehendak manusia. Bila Allah bertindak berdasarkan kebenaran manusia, tak seorang pun selamat.

Pilihan ini juga bukan berdasarkan perbuatan manusia (ayat 11). Allah memilih bukan karena seseorang lebih saleh dan yang lain lebih jahat. Allah kudus dan harus menghukum dosa, tetapi Allah penuh kasih dan ingin menyelamatkan orang-orang berdosa. Bila ada yang tidak diselamatkan, ini berarti keadilan-Nya dijalankan. Bila ada yang diselamatkan, kasih-Nya dinyatakan. Dalam kesemuanya, kedaulatan Alah ditegakkan. Maka jika keselamatan kita memperlihatkan pilihan Allah atas kita, jangan sombong. Beritakan agar orang lain pun beroleh karunia itu.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/11/

Oleh Kasih Karunia (Roma 9:30-10:3)

Memperoleh keselamatan karena perbuatan baik merupakan konsep duniawi yang mudah dipahami. Hidup saleh pasti masuk surga, bukankah ini masuk akal?

Tampaknya setelah dihajar berkali-kali oleh Allah, bangsa Israel jadi bertobat dari penyembahan berhala. Setelah itu hanya Allah Abraham yang mereka sembah dan layani. Mereka bergiat dalam ibadah mereka kepada Allah (ayat 9:31, 10:2). Mereka berupaya memasyarakatkan Hukum Taurat agar setiap umat melakukannya dalam hidup mereka sesehari. Bahkan mereka berusaha melengkapi Hukum Taurat itu dengan peraturan-peraturan yang mereka buat sendiri. Namun sayang, semangat mereka tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar (ayat 10:2). Mereka berusaha memperoleh pembenaran Allah dengan perbuatan baik dan kesalehan (ayat 10:3). Bukan dengan iman. Sulit bagi mereka untuk memahami konsep dibenarkan karena "kasih karunia". Mereka begitu bangga akan kesalehan mereka. Padahal dengan demikian mereka telah menggantikan Kristus dengan perbuatan baik. Dan akibatnya mereka tidak memperoleh kasih karunia Allah. Sementara bangsa-bangsa lain menerima kasih karunia Allah dengan iman. Dan mereka dibenarkan Allah.

Sampai kini pun masih banyak orang yang berusaha hidup saleh secara sungguh-sungguh, dengan harapan akan masuk surga ketika mereka meninggal dunia kelak. Namun sayangnya, kesungguhan hati dan kesalehan seseorang tidak akan pernah dapat menyelamatkan jiwanya. Ia tidak akan beroleh perkenan Allah maka kesudahannya adalah kebinasaannya. Paulus, yang ngeri membayangkan akhir hidup orang-orang sebangsanya, merindukan pertobatan mereka. Ia berdoa agar Allah menyelamatkan mereka (ayat 10:1).

Bagaimana dengan kita? Seberapa pedulikah kita pada orang-orang terhilang di sekitar kita? Adakah Anda pernah mengingat mereka dalam doa Anda? Adakah Anda memiliki kerinduan agar mereka diselamatkan? Masukkan mereka dalam pokok doa Anda mulai sekarang.
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/13/

Karena kasih Karunia (Roma 9:19-29)

Masalah pilihan Allah selalu mengundang pertanyaan mengenai keadilan-Nya. Ia memilih Israel dan menolak bangsa-bangsa lain. Ia memilih Musa, tetapi menghukum Firaun. Adilkah ini? Jika segala sesuatu dalam diri manusia telah berjalan menurut kehendak Allah, lalu mengapa manusia harus disalahkan? Paulus menjelaskan
jawabannya.

Pertama, kita tidak mungkin mempertanyakan kehendak Allah (ayat 19- 21). Allah itu Maha Bijak maka adalah bodoh jika kita, bejana tanah liat ini, menantang Pencipta kita. Kedua, Allah mempunyai kehendak dalam diri setiap orang (ayat 22-24). Musa menerima kasih karunia Allah dan ia menjadi alat untuk menyatakan kasih karunia itu. Namun Firaun, sang pemberontak, menerima murka Allah. Ia memang tak pantas menerima belas kasih Allah. Lalu apakah Allah dapat dituduh tidak adil atas hal ini? Allah memiliki kebebasan untuk menyatakan kasih karunia kepada orang yang Dia kasihi. Ketiga, semua itu telah dinubuatkan oleh nabi-nabi (ayat 25-29). Paulus mengutip nubuat Hosea yang menyatakan bahwa Allah akan
berpaling dari Israel dan memanggil bangsa-bangsa lain (Hos. 2:22, 1:10). Juga nubuat Yesaya tentang kasih karunia Allah dalam menyelamatkan sisa Israel yang percaya (Yes. 1:9). Lalu apakah semua itu memperlihatkan ketidakadilan Allah? Jelas tidak, karena Allah tidak berkewajiban untuk memilih berdasarkan perbuatan manusia atau berdasarkan rasnya. Allah tidak dapat dikatakan tidak adil bila Ia memilih seseorang dan menolak yang lain, karena ini adalah masalah kasih karunia. Kita tidak bisa mempertanyakan mengapa demikian, sebab itu berarti kita telah melampaui hak kita sebagai ciptaan. Lagi pula pilihan Allah telah membuka kesempatan bagi bangsa lain untuk diselamatkan sehingga kita yang berasal dari bangsa lain pun dapat memperoleh kasih karunia untuk diselamatkan, tanpa memperhitungkan siapa kita.

Kita patut bersyukur dan memuliakan Allah atas hal itu. Dan tentu saja tetap berdoa agar orang lain yang belum menerima keselamatan dapat menerima kasih karunia itu.

Sumber :http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/12/

Berbagi di Facebook
Monday, April 19, 2010

Harapan dan Kemuliaan (Roma 8:18-30)

Walau telah menjadi ahli waris Kerajaan Allah, orang tidak dapat menghindar dari kenyataan hidup yang harus dihadapi di dalam dunia ini. Inilah pemahaman Paulus. Seperti kita ketahui Paulus sendiri mengalami berbagai penderitaan justru setelah ia mengikut Tuhan. Kehidupan Kristen memang bukan seperti jalan mulus berkarpet merah. Namun ia juga menyadari sepenuhnya bahwa penderitaan yang dialami saat itu tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan datang (ayat 18). Inilah pengharapan yang dapat membangkitkan iman dan sukacita seorang Kristen. Karena tanpa pengharapan akan kemuliaan, betapa tragis kehidupan orang Kristen (1Kor. 15:19).

Orang Kristen memiliki Roh Kudus yang berdiam di dalam dirinya. Di tengah pergumulan dan penderitaan hidup, Roh Kudus menjadi jaminan akan berkat yang akan diterima oleh anak-anak Allah. Roh Kudus adalah Roh yang memberikan pengharapan karena Ia menjamin kemuliaan kekal kelak yang menanti kita. Roh Kudus juga menjadi penolong saat kita lemah. Misalnya bila kita tidak tahu apa yang harus kita doakan maka Roh Kudus akan menolong kita berdoa. Dia akan menjadi perantara kita dengan Bapa (ayat 26-27).

Selain itu Allah mengatur segala sesuatu agar terjadi untuk kebaikan orang yang mengasihi Dia. Jadi apa pun yang terjadi dalam hidup kita, meski kita anggap itu baik atau buruk, bukanlah sebuah insiden atau kebetulan yang terjadi begitu saja. Semua itu merupakan bagian dari karya Allah. Tak ada suatu peristiwa pun yang tidak dimaksudkan untuk berkontribusi bagi kebaikan kita dan kemuliaan Allah. Maka kita tidak boleh melihat peristiwa itu secara terpisah-pisah. Kita harus memandangnya sebagai satu kesatuan rangkaian rancangan Allah yang seolah bekerja sama untuk mencapai maksud Allah bagi kita. Lalu bagaimana kita tahu bahwa kesudahannya akan membawa kebaikan? Kita harus percaya bahwa Allah merancang yang terbaik dan niscaya akan melakukan yang terbaik pula bagi penggenapan rencana-Nya.

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/08/


Sunday, April 18, 2010

Jaminan hidup kekal (1 Yohanes 5:13)

Samakah "jaminan hidup kekal" dengan "mengetahui bahwa Anda memiliki  hidup kekal? Mana yang lebih penting untuk kehidupan orang    Kristen?

Bila ayat ini dibandingkan dengan surat Efesus (ayat 1:13, 14), Anda   akan sadar bahwa Yohanes sedang bicara tentang pengetahuan orang   Kristen bahwa ia sungguh memiliki hidup kekal. Ini berbeda dari   perkataan Paulus tentang "meterai" Roh Kudus dan "jaminan" hidup    yang akan datang yang sudah bisa kita cicipi karena kehadiran Roh   Kudus dalam hidup orang beriman. Yang Paulus bicarakan, hadirnya    Roh sebagai cap kemilikan Allah atas kita dan memberikan   pengalaman surgawi dalam hati kita, merupakan jaminan yang sangat   kuat dari Allah bahwa kita sungguh milik-Nya. Perbedaan ini    membuat kita mensyukuri kekayaan ajaran Alkitab dan mengalami    berbagai faset keselamatan.

Karya Roh yang memberikan pengalaman jaminan Ilahi dalam hati tentu    sangat penting. Namun sama penting dengan itu adalah bukti nyata    bahwa hidup kekal memang telah terbit dalam hidup kita. Nah inilah    yang disoroti Yohanes. Tanda pertama bahwa orang telah mengalami    hidup kekal ialah ia mengasihi Kristus (ayat 5:1). Ini merupakan    tanda paling awal yang langsung terbit begitu orang menerima Yesus   ke dalam hidupnya dan memercayai Dia sebagai Juruselamatnya. Kasih    kepada Kristus adalah akibat dari telah merasakan kasih-Nya, dan    respons wajar kepada kasih kekal itu. Tanda kedua, akibat logis    dari mengasihi Allah adalah ketaatan melakukan perintah Allah.    Kasih membuat ketaatan sebagai kesukaan, bukan hal yang berat dan    menyusahkan! Tanda ketiga, menggabungkan jaminan Ilahi (Roh)   dengan fakta pembaruan hidup kita. Sebab darah menunjuk kepada    kematian Yesus yang membawa dampak pengu-dusan (air).

Karya Roh mengaplikasikan dampak kurban Yesus dengan menguduskan hidup   kita, sekaligus menjadi kesaksian Roh kepada roh kita bahwa kita  telah mengalami hidup kekal. Kesaksian Roh dalam hati mengacu pada    fakta perubahan hidup kita, inilah jaminan hidup kekal, sejati,   dan kokoh! Satu lagi bukti bahwa kita memiliki hidup kekal ialah    kita boleh berdoa dan dijawab Allah (ayat 5:14).
Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/sh/2010/04/10/


Berbagi di Facebook

Tak terselami, hikmat dan kuasa Allah (Roma 11:25-36)

Pernahkah Anda merenungkan keadaan Anda sebelum mengenal Yesus sebagai  Tuhan dan Juruselamat? Sesudah Anda masuk dalam anugerah  penyelamatan itu, bagaimana kesan Anda tentang jalan Allah yang  menyelamatkan?

Dalam perenungannya yang dalam dan luas, Paulus sanggup melihat ke   masa depan. Yaitu pengharapan bahwa melalui ketidaktaatan Israel    untuk sesaat, dimungkinkan terjadinya penyelamatan sejumlah besar   orang dari bangsa-bangsa bukan pilihan Allah (ayat 25). Suatu hal    yang sangat tidak mungkin untuk diimpikan. Bayangkan, bagaimana    mungkin orang Siro-Feniki, orang Etiopia, orang Romawi, orang    Yunani, orang Barbar di Eropa, orang Cina, orang Arab, orang    Meksiko, orang Tonga, orang Jawa, orang Batak, orang Melayu, orang    Papua, orang Maluku, ... dan masih ratusan bahkan ribuan lagi    banyaknya suku dan bahasa dari penjuru bumi ini, akhirnya mengenal  Allah yang sejati. Kita termasuk di antaranya yang berasal dari    nenek-moyang dan kehidupan yang menaati kekuatan-kekuatan    kejahatan, akhirnya mengalami pencerahan hati di dalam Yesus    Kristus! Haleluyah!

Lebih ajaib dari itu, Israel yang telah terbuang dari keterpilihannya   karena penolakan akan sang Mesias, pun akhirnya dipulihkan kembal   (ayat 26-27). Dalam cara dan waktu-Nya sendiri, Allah sedang dan   akan terus mengerjakan anugerah-Nya yang menegur, mengoreksi,  meyakinkan sampai akhirnya orang Israel pun akan menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan mereka. Dengan demikian, genaplah   suatu umat yang Allah rencanakan bagi-Nya, yaitu gereja-Nya  sejati, umat pilihan-Nya sejati, Israel yang sejati! Di dalam   kekayaan hikmat dan kuasa-Nya, oleh anugerah-Nya yang dahsyat itu,   terciptalah umat pilihan yang sejak kekal telah Ia rancang dan   kasihi! Oh betapa tinggi, dalam, lebar dan luas kasih Kristus;   betapa tak terselami hikmat dan kuasa Injil!

Anda dan saya sedang menjadi bagian dari pewujud-nyataan hikmat serta    kuasa yang dahsyat itu, yaitu bila kita ambil bagian menyaksikan    Injil Kristus kepada sesama kita!
Berbagi di Facebook
Saturday, April 17, 2010

Kemurahan dan kekerasan Allah (Roma 11:11-24)

Pelajaran apakah yang kita terima tentang Allah dari sikap-Nya terhadap penolakan Israel dan dari bagaimana Ia menghasilkan   keselamatan bangsa-bangsa asal kafir?

Allah keras berpegang pada prinsip, tetapi bukan berarti kejam atau  sewenang-wenang. Maksudnya, Allah tidak berubah-ubah dalam  ketetapan, keadilan, dan kebenaran-Nya. Bahkan umat pilihan yang berkeras menolak anugerah dalam Kristus harus menanggung akibat   mengerikan, yaitu kebinasaan. Karena Allah keras dan tidak    main-main dengan ketetapan anugerah-Nya, maka Israel seolah adonan    bantat atau cabang pohon zaitun sejati yang tidak berbuah. Maka    dalam ketegasan kebenaran diri-Nya, Allah mengerat umat   pilihan-Nya itu. Namun Allah berlimpah kasih dan kemurahan. Ia    yang mengerat Israel adalah Ia yang mencangkokkan bangsa-bangsa    asal kafir. Melalui pelayanan Paulus ke berbagai penjuru, banyak    sekali dihasilkan orang yang asalnya bukan umat menjadi umat    pilihan. Mereka menyambut Kristus dan bersukacita dalam  keselamatan yang diwujudkan oleh Injil-Nya. Orang-orang beriman    pada Kristus yang berasal dari bangsa kafir, seumpama pohon zaitun   liar yang dicangkokkan di tempat keratan pohon zaitun asli yang    tidak berbuah itu.

Pelajaran keras yang Allah berikan kepada orang Yahudi sekaligus    merupakan kemurahan yang tak terselami keajaibannya (ayat 22).    Allah menjadikan pelayanan penginjilan Paulus begitu berhasil,    sehingga orang Yahudi yang menolak Injil boleh mengalami    kecemburuan suci (ayat 14). Menyaksikan betapa limpahnya anugerah    Allah atas orang-orang yang dulunya tidak kenal Allah, Paulus    berharap bahwa hal itu menimbulkan kesadaran orang Yahudi tentang    kerugian yang mereka tanggung. Dan mendorong mereka menyambut    berkat Allah.

Kesadaran akan kekerasan dan kemurahan Allah akan membuat kita juga    menjunjung tinggi kemuliaan-Nya! Maka dalam keseharian maupun    dalam pelayanan, jangan sembrono memperlakukan kemurahan Allah    agar kita tidak mengalami kekerasanNya!


Berbagi di Facebook