Friday, June 25, 2010

Menghormati kekudusan Allah (Yehezkiel 46:19-24)

Sebagai rumah Allah, Bait Suci dibuat sedemikian rupa dengan memperhatikan kemahakudusan Allah. Bukan hanya pembagian pelataran, bahkan pembagian dapur pun dibuat dengan memperhatikan hal itu. Memang semua detail dalam rancangan Bait itu ditentukan
oleh Allah sendiri.

Ada dua dapur di Bait Allah yang diperlihatkan pada Yehezkiel. Satu untuk para imam dan yang lain untuk jemaat. Yang satu terletak di sebelah utara tempat kudus (ayat 19). Lokasi ini dipakai untuk memasak korban penebus salah dan korban penghapus dosa, serta untuk membakar korban sajian (ayat 20). Tugas memasak korban-korban tersebut dilakukan oleh para imam. Para imam juga diberi hak istimewa untuk menikmati bagian dari persembahan yang diperuntukkan bagi mereka. Dan dapur itulah yang menjadi tempat makan para imam. Posisi dapur tersebut memungkinkan imam untuk tidak bertemu jemaat agar mereka tidak mentransmisikan kekudusan kepada umat (bnd. Yeh. 44:19). Betapa agungnya kekudusan Allah hingga umat tidak bisa sembarangan memasuki tempat kudus-Nya, meskipun tempat itu hanya berfungsi sebagai sebuah dapur.

Dapur yang kedua terletak di pelataran luar, di keempat sudutnya. Yang memasak adalah petugas-petugas Bait Suci, suatu jabatan yang lebih rendah dari imam (bnd. Yeh. 44:11). Korban sembelihan dari umat Tuhan disiapkan di dapur ini.

Pembagian dua jenis dapur di Bait Allah dan berbagai aktivitas yang telah dirancang untuk dilakukan didalamnya, memperlihatkan adanya gradasi kekudusan seperti yang terdapat di pelataran. Ini mengajarkan tentang kekudusan Allah yang tidak bisa dibuat main-main. Tidak sembarang orang boleh memasukinya. Meski demikian kita juga melihat bahwa Allah bukanlah Allah yang tidak terhampiri. Ia ingin juga bersekutu dengan umat-Nya. Karena itu ada tempat yang disediakan bagi umat. Dari sini kita belajar bahwa ibadah di dalam berbagai aspeknya harus dilakukan dengan penuh penghormatan kepada kekudusan Allah.
Wednesday, June 23, 2010

Pelayan sebagai teladan (1Korintus 9:1-18)

Mengapa banyak pelayan Tuhan tak bisa memberikan teladan yang baik? Mengapa sulit menjadi teladan? Khususnya bila menyangkut sikap dan perilaku di seputar uang, harta milik, atau fasilitas.

Penyebabnya adalah karena yang bersangkutan tidak menempatkan hak dan pengorbanan secara tepat dan seimbang. Pertama, pelayan Tuhan harus hati-hati tentang haknya. Sifat dosa dapat membuat pelayan Tuhan egois sehingga bukan melayani sebaliknya menuntut pelayanan. Tak tertutup kemungkinan malah menjadikan Tuhan sebagai pelayan kepentingan dan kehormatan dirinya. Sebagai rasul, Paulus sebenarnya sudah berbuat sangat banyak. Secara manusiawi ia boleh disebut telah membuat jemaat Korintus berhutang Injil kepada Paulus. Maksudnya, pelayanan Pauluslah yang telah membuat mereka mengenal Kristus. Kegigihan dan
pengorbanan Paulus telah menghasilkan banyak karunia yang dinikmati jemaat Korintus. Maka sebenarnya Paulus berhak atas hal-hal yang wajar, seperti membawa istri, beroleh tunjangan hidup, tidak usah bekerja agar dapat konsentrasi pada pelayanan, dsb. Menerima hak secara wajar adalah prinsip pertama agar seorang pelayan Tuhan menjadi teladan. Hanya jika ia menuntut lebih dari yang wajar, maka ia jatuh ke dalam ketamakan, keegoisan, dan menimbulkan citra buruk.

Kedua, keteladanan juga menyangkut kesediaan berkorban. Hak wajar yang seharusnya Paulus terima telah ia korbankan untuk menunjang kemajuan pelayanan. Maka karena tak beristri, ia tak perlu ongkos ekstra atau berbagi perhatian. Karena bekerja, ia tidak bergantung secara finansial pada dukungan pihak lain. Paulus meninggalkan keteladanan yang sangat terpuji. Namun di sini kita harus hati-hati. Berkorban berlebihan dalam pelayanan pun dapat membuat pelayan Tuhan meninggalkan teladan buruk. Jika pelayan Tuhan bekerja berlebihan sampai sakit-sakitan, misalnya. Atau sampai membuat anak-anaknya kehilangan ayah atau ibu karena mereka tidak punya waktu.

Maka layanilah Tuhan dan sesama dengan menjadi teladan, yaitu dengan membatasi hak dengan pengorbanan, pengorbanan dengan hak, secara
seimbang. Sumber : E sabda
Thursday, June 17, 2010

Pemberita dan Pelaku Injil (Kisah Para Rasul 19:1-12)

Sudah berapa lama Anda menyatakan diri sebagai orang Kristen? Apakah Anda memiliki sebuah hubungan pribadi yang indah dengan Dia? Menepati janji untuk kembali ke Efesus jika Tuhan menghendaki (Kis. 18:21), Paulus datang setahun kemudian ke kota itu. Di situ ia menemukan dua belas orang murid (1, 7). Namun ketika Paulus berbicara dengan mereka, ia merasakan sesuatu yang janggal sampai akhirnya ia menanyakan apakah mereka pernah mendengar tentang Roh Kudus (2). Ternyata belum. Mungkin mereka mengenal dan percaya pada Mesias secara umum saja, yakni berdasarkan penyataan yang tertulis dalam Perjanjian Lama. Atau paling jauh, pengenalan berdasarkan khotbah Yohanes Pembaptis. Kita tentu masih ingat bahwa seperti ini jugalah keadaan Apolos sebelum ia bertemu dengan Akwila dan Priskila. Maka seperti Akwila dan Priskila mengajar Apolos, begitu pulalah Paulus mengajar kedua belas orang tersebut. Lalu ketika mereka percaya, mereka semua menerima Roh Kudus (4-6), sama seperti orang-orang percaya di Yerusalem pada peristiwa Pentakosta (Kis. 2), atau peristiwa di Samaria (Kis. 8), atau di Kaisarea (Kis. 10).
Injil memang perlu disampaikan kepada orang-orang yang belum pernah mendengar, tetapi kita juga telah mempelajari bahwa Injil juga perlu diberitakan kepada orang-orang yang belum memahami bahwa orang perlu diperdamaikan dengan Allah melalui Anak-Nya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Hanya melalui Kristus saja orang dapat diselamatkan dan memiliki hubungan baik dengan Allah. Dan bila orang menerima keselamatan maka pada saat itu ia akan menerima Roh Kudus. Sebaliknya menerima Roh Kudus merupakan tanda bahwa seseorang telah diselamatkan.

Tentu saja orang yang mengalami kehadiran Roh Kudus akan terlihat nyata dalam kehidupannya. Bagaimana dengan hidup Anda? Akankah orang melihat kehadiran, damai, dan kuasa Roh Kudus dalam hidup Anda? Ataukah bila melihat Anda, orang masih meragukan ada Allah dalam hidup Anda?
Sumber : E-SABDA
Wednesday, June 16, 2010

Karena Engkau, Aku Menanggung Cela (Mazmur 69:1-19)

Ada seorang ibu yang banyak menderita. Ia pernah mengalami sakit hebat karena kecelakaan saat mengerjakan urusan rumahtangga. Ia pernah menderita fisik karena harus bekerja keras mencari tambahan nafkah sesudah suaminya pensiun. Ia pernah mengalami ketidakadilan. Puji Tuhan, dalam anugerah ia dapat mengatasi semua itu.

Pemazmur menderita lebih berat lagi. Penderitaan apakah yang dia gambarkan sebagai banjir atau rawa yang membuat dia nyaris tenggelam (ayat 2-3)? Yang membuat ia berdoa tanpa henti dan karena begitu sering berkeluh-kesah membuat kerongkongannya kering dan matanya nyeri (ayat 4)? Ia sadar bahwa ia adalah manusia biasa yang berdosa (ayat 6). Namun jelas bahwa penderitaan yang dia tanggung bukanlah hukuman Tuhan atas dosa-dosanya. Ia menderita karena keberpihakannya kepada Allah membuat orang membenci dia. Dan dunia ini kejam sekali. Mereka berkomplot melawan orang yang mengasihi Allah (ayat 5). Bahkan, entah karena ikut berkomplot atau karena takut terkena "getah," sanak saudaranya ikut membuang dia (ayat 9). Itulah penderitaan terberat, karena orang-orang terdekat menganggap dia sebagai orang berbahaya dan harus disingkirkan. Ia juga jadi objek sindiran (ayat 13).

Penderitaan, dalam terang Alkitab adalah senjata Allah menangguhkan iman (lih. Rm. 5:3-5; 1Ptr. 1:6-7). Dalam hal pemazmur, penderitaan membuat dia rindu akan pemulihan rohani yang bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Ia mengharapkan pelepasan supaya orang beriman lainnya tidak tawar hati (ayat 7). Namun berkat terindah dari menanggung cela karena Allah ialah penegasan iman kepada perkenan Allah, kasih setia-Nya, dan pertolongan-Nya (ayat 14). Irama sumbang para pengejeknya kini menyingkir menjadi latarbelakang yang tak berarti. Orang yang menderita ini masuk ke dalam hadirat kasih anugerah Allah yang ajaib. Kepada Allah, ia mempertaruhkan kasusnya. Dari Allah, ia beroleh peluputan yang mengalir semata dari anugerah perjanjian Allah yang terpercaya!
Sumber : E-Sabda
Saturday, June 5, 2010

Memancarkan karakter Allah (Yehezkiel 48:1-8)

Tanah Israel dibagi dengan cara yang berbeda dibandingkan sebelum pembuangan. Ada pola yang sangat konsentris di dalam sistem pembagian itu. Tiap suku mendapat wilayah yang memanjang dari tepi Barat hingga tepi Timur wilayah yang baru. Suku Dan menempati wilayah paling utara. Tiga suku yang pertama disebut berasal dari para budak. Manasye dan Efraim adalah anak-anak Yusuf. Ruben adalah putra sulung Yakub. Yehuda memperoleh tempat prestisius, yang berbatasan dengan tanah yang dikhususkan sebagaipersembahan untuk TUHAN, karena Mesias yang dijanjikan akan datang dari suku Yehuda.

Pembagian ini menunjukkan prioritas baru bagi Israel. Mereka akan hidup berdampingan dengan damai. Suku-suku besar tak lagi memanipulasi suku-suku kecil. Batas wilayah ditentukan sama rata (bnd. Bil. 33:54). Tiap suku mendapat wilayah yang mencakup pantai Laut Tengah di sisi barat, daerah pegunungan di tengah hingga perbatasan di timur.

Sesudah bagian Yehuda, ada satu bagian tanah yang secara khusus dipersembahkan kepada TUHAN. Bagian ini membagi Israel menjadi 7 suku di utara dan 5 suku di selatan untuk mempertahankan posisi wilayah istimewa ini di tempat Yerusalem berada. Hal yang sama juga mencerminkan pembagian Kerajaan Utara yang lebih besar dibandingkan Kerajaan Selatan sebelum Israel dibuang dari tanah perjanjian.

Seluruh aspek kehidupan umat diatur demikian demi kebaikan hidup bersama di antara suku-suku Israel. Juga agar keteraturan dan ketertiban yang mereka tampakkan memancarkan karakter Allah kepada bangsa-bangsa lain. Kehidupan umat TUHAN tidak pernah dimaksudkan melulu untuk diri sendiri atau untuk terfokus kepada TUHAN dengan cara picik.

Allah menghendaki agar kita pun memancarkan karakter-Nya melalui tiap aspek kehidupan kita. Adakah karakter Allah tercermin dalam hidup Anda? Dengan cara bagaimana keluarga, pekerjaan, pergaulan, pengelolaan keuangan, dan tiap aspek dalam hidup Anda mencerminkan karakter Allah?
Sumber : E SABDA
Tuesday, June 1, 2010

Kuasa kehadiran Allah (Yehezkiel 47:1-12)

Masyarakat pada masa Yehezkiel memahami bahwa Bait Suci berfungsi terutama sebagai rumah Allah, selain sebagai tempat beribadah. Dan ketika Allah hadir, maka berkat Tuhan menjadi nyata bagi umat-Nya.

Bait Suci yang digambarkan Yehezkiel tak pernah jadi kenyataan, tetapi gambaran yang diberikan mengenai sungai air kehidupan mengingatkan kita kepada Taman Eden di Kej. 2 dan kepada Yerusalem yang baru di Why. 22. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, kehilangan terbesar yang mereka alami bukanlah Taman Eden, mmelainkan hadirat Allah. Hadirat Allah inilah yang Yehezkiel lihat dijanjikan oleh Allah kepada Israel.

Dampak kehadiran Allah sangat dahsyat: air kehidupan mengalir ke wilayah Timur, menjadikan wilayah yang tidak subur itu menjadi tempat "amat banyak pohon" tumbuh subur. Bahkan Laut Mati akan penuh dengan kehidupan seperti Laut Tengah. En-Gedi dan En-Eglaim adalah dua wilayah permukiman di tepi Laut Mati, tempat di mana selama lebih dari 10.000 tahun terakhir masyarakatnya hidup dari bertambak garam. Namun Yehezkiel menyatakan bahwa masyarakat di dua tempat ini akan beralih menjadi masyarakat nelayan karena dahsyatnya sungai air kehidupan yang mengalirkan kehidupan ke salah satu habitat paling mematikan di muka bumi ini.

Bagaimana masyarakat itu akan memenuhi kebutuhan garam? Tuhan masih menyediakan deposit-deposit garam dalam kadar yang tepat untuk menyokong kehidupan umat.

Melalui semua itu kita melihat kuasa kehadiran Allah di bait-Nya dan di antara umat-Nya. Kuasa yang menghadirkan kebaikan bagi umat-Nya.

Sudah hadirkah Allah di dalam hidup Anda? Apakah orang-orang di sekitar Anda merasakan dampak yang mengalir dari hadirat Allah melalui kehidupan Anda? Sudahkah Anda menunjukkan sikap dan kesaksian yang seimbang dalam hidup Anda?
Sumber : E SABDA