Thursday, March 31, 2011

Kekekalan (Lukas 20:27-44)

Banyak pertanyaan-pertanyaan sulit yang kita jumpai dalam kehidupan ini. Terutama pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan dunia yang akan datang, yaitu dunia setelah kematian manusia. Suatu misteri yang sulit diungkap, tetapi pemikiran tentang dunia itu ada dalam tiap agama di dunia ini.

Dalam rangkaian pelayanan yang hendak diselesaikan Yesus, segolongan orang Saduki mendatangi Dia dan melontarkan suatu pertanyaan. Golongan Saduki adalah golongan dari bangsa Yahudi yang tidak memercayai adanya kebangkitan.

Yesus menjawab mereka dengan memaparkan bahwa kehidupan dunia sekarang ini berbeda dengan kehidupan dunia yang akan datang, yaitu dunia setelah kebangkitan. Jika di dunia, anak manusia kawin dan dikawinkan, tidak demikian dengan dunia kekal. Sebagaimana pemikiran manusia dalam kehidupan dunia ini tidak boleh disamakan dengan pemikiran pada dunia setelah kebangkitan. Pemikiran manusia yang sudah jatuh dalam dosa sangat terbatas dalam dunia sekarang ini. Jadi bagaimana mungkin dunia yang terbatas memahami keberadaan dunia kekal? Maka perlu percaya dahulu akan adanya kebangkitan, baru dapat memikirkannya. Lalu Yesus melanjutkan bahwa Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Meskipun mereka sudah mati secara fisik, tetapi mereka tetap hidup di hadapan Allah. Maka sebutan itu tetap ada pada Allah. Mengacu pada kutipan Musa (Kel. 3), itulah Allah yang sama, yang menjumpai Musa waktu dipanggil.

Allah yang sama adalah Allah yang disembah oleh kita, orang percaya yang hidup dizaman ini. Memercayai Allah membuat kita tahu bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian. Kehidupan kekal itu sama sekali berbeda dengan kehidupan duniawi yang kita hidupi sekarang ini. Maka jangan terjebak pada filosofi dunia tentang dunia kekal. Lebih baik percaya terlebih dahulu kepada Kristus yang kekal, maka kita akan memahami kekekalan dalam pengertian yang benar, karena Dialah Kekekalan itu sendiri dan dari Dialah kekekalan kita berasal.

Jangan sia-siakan anugerah (Lukas 20:9-19)

Walau seringkali mendapat teguran dari Yesus, ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala tetap bersikukuh pada kebenaran diri mereka masing-masing. Memang orang berdosa tidak mungkin bisa berubah dan bertobat dari dosa-dosanya kalau bukan karena anugerah Tuhan yang lebih dahulu dicurahkan kepada mereka.

Hari ini, melalui perumpamaan yang disampaikan Tuhan Yesus, kita melihat lagi betapa jahat perbuatan ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala. Yesus mengumpamakan mereka sebagai penggarap-penggarap yang menyewa kebun anggur dari pemilik kebun anggur yang melambangkan Allah sendiri. Ketika suatu kali, si pemilik mengutus hambanya untuk meminta hasil kebun anggurnya, para penggarap kebun malah memukul dan menyuruh dia pulang tanpa hasil. Demikianlah kejadian ini berulang sampai hamba yang ketiga diutus. (Bdk. Luk. 11 : 49). Terakhir, si pemilik kebun anggur mengutus anaknya sendiri untuk melakukan tugas yang sama, seperti yang telah dilakukan hamba-hamba ayahnya sebelumnya. Namun apa yang terjadi? Mereka melempar si anak keluar dan membunuh dia karena dialah ahli waris dari pemilik kebun anggur itu. Para penggarap ternyata tidak melaksanakan tugas dengan benar. Malah mereka melakukan kejahatan yang luar biasa besar. Maka Tuhan menegur dengan keras, bahwa barangsiapa yang masih bermain-main dengan Tuhan, akibatnya ia akan hancur dan remuk (ayat 18).

Ini adalah gambaran bangsa Israel yang berulang kali menolak Kerajaan Allah. Berkali-kali Allah mengutus nabi-nabi-Nya kepada mereka, hingga pada puncak-Nya, Dia mengirimkan Yesus, Anak-Nya untuk berbicara kepada mereka. Namun tetap saja, mereka menolak. Mereka justru kemudian menyalibkan Yesus sebagai puncak pemberontakan mereka. Sungguh ironis!

Sebagai orang percaya di zaman sekarang ini, kita tentu tidak meragukan Yesus sebagai Anak Allah, Juruselamat yang telah diberikan Bapa kepada kita. Maka jangan sia-siakan anugerah yang luar biasa itu. Marilah kita selalu membuka hati dan menerima kedatangan-Nya.
Tuesday, November 30, 2010

Berhikmat dalam mengambil keputusan (2 Samuel 19:24-43)

Penyelesaian masalah tidak selalu berlangsung cepat dan mulus. Ada saja benang kusut yang harus diurai dengan hati-hati dan makan waktu, bahkan boleh jadi tidak tuntas.

Kasus Mefiboset adalah salah satunya. Daud bertemu Mefiboset yang mengadukan pengkhianatan hambanya, Ziba (26-27). Ziba memfitnah Mefiboset dengan mengatakan bahwa ia mau memakai kesempatan kalahnya Daud untuk mendapatkan kembali kerajaan ayahnya (2Sam. 16:3). Kelihatannya Mefiboset berkata jujur. Namun mungkin karena Daud sudah terlanjur mengambil

keputusan untuk memberikan semua milik Mefiboset kepada Ziba (2Sam. 16:4), Daud enggan untuk membongkar lagi masalah itu. Daud hanya memerintahkan supaya harta Mefiboset dibagi dua dengan Ziba (29). Bila Mefiboset berkata jujur, maka keputusan Daud jelas tidak adil. Namun Daud kelihatannya tidak perduli.

Lalu ada masalah lain yang lebih besar. Ayat 40-43 menunjukkan bahwa ada keretakan antara Yehuda dengan Israel (suku-suku utara). Israel mengeluh bahwa Yehuda mendapat tempat istimewa dalam mengawal Daud menyeberangi Yordan (41). Padahal Yehudalah yang pertama-tama mendukung pemberontakan Absalom. Yehuda pula yang terakhir mengakui Daud kembali sebagai raja. Maka menurut orang Israel, sungguh tidak pantas jika orang Yehuda mendapat hak istimewa itu. Sementara Yehuda sendiri merasa bahwa mereka adalah kerabat Daud sehingga mereka tidak menemui ketidakpantasan untuk mengawal Daud.

Sungguh banyak masalah yang harus diselesaikan oleh Daud, walaupun kasus pemberontakan Absalom telah berakhir. Untuk itu Daud harus bersikap bijak dan berpikir masak-masak sehingga tidak mengambil keputusan yang keliru, seperti yang pernah dia lakukan terhadap Mefiboset.

Namun bukan hanya raja yang perlu bersikap bijak dalam mengambil keputusan. Kita pun harus demikian. Maka sangat perlu bagi kita untuk meminta hikmat Tuhan sebelum mengambil keputusan, dalam hal apa pun.

Celik melihat Tuhan (2 Tawarikh 28:1-27)

Betapa jauh hati Ahas dari Allah. Kalau kita perhatikan kehidupan Raja Ahas, maka tak ada satu pun dari antaranya yang menunjukkan perhatiannya terhadap Tuhan, Allah Israel. Hidupnya bergerak hanya dalam kegelapan.

Ahas melakukan penyembahan berhala yang melibatkan ritual keji, yaitu dengan mengurbankan anak-anak (2-4). Sungguh mengerikan. Dia tak menyadari bahwa perbuatan yang menyakiti hati Tuhan itu akan membangkitkan murka-Nya. Tak heran bila Allah kemudian menghukum Ahas dengan membangkitkan raja Aram untuk menyerang dia (16-21). Namun hal ini pun tidak membuat mata Ahas

menjadi celik. Mata hatinya telah menjadi buta hingga tak dapat melihat bahwa Tuhan berada di balik semua itu. Malah tanpa merasa malu, ia mengharapkan pertolongan dari raja negeri Asyur (16-21). Suatu harapan yang justru kemudian berbalik menjadi bumerang bagi dia (20-21). Iman Raja Ahas pun makin terpuruk. Teguran dan hajaran Tuhan tidak membuat mata hatinya terbuka untuk melihat maksud Tuhan. Kegelapan hati justru membuat Ahas mengira bahwa raja Asyur menang karena pertolongan allahnya. Maka dalam kebodohannya, Ahas malah mempersembahkan korban kepada allah asing (22-25). Ironis sekali! Sungguh tak ada satu pun cerminan bahwa Ahas adalah anak dari Yotam, raja yang hidupnya berkenan bagi Allah.

Hidup Ahas menjadi suatu peringatan bagi kita. Bila tak ada satu pun peristiwa dalam hidup yang membuat mata hati kita terbuka untuk melihat bahwa ada maksud Tuhan di dalamnya, maka kita perlu waspada. Kita perlu memeriksa diri, apakah sesungguhnya kegelapan sedang menyelubungi hati kita, hingga tak dapat melihat satu pun karya Allah dalam hidup kita, walau hanya berupa suatu sentilan kecil. Bila hal itu yang sedang terjadi dalam hidup kita, datanglah pada Tuhan. Minta Dia menyingkapkan selubung itu dari hati kita agar kita dapat melihat Dia dan terbuka pada karya dan maksud-maksud-Nya di dalam hidup kita, bagi kemuliaan-Nya.

Pemimpin yang takut akan Allah (2 Tawarikh 29:1-36)

Keberadaan seorang pemimpin sangat mempengaruhi kehidupan orang-orang yang dia pimpin. Setelah dipimpin oleh Raja Ahas, yang hidupnya tidak menyenangkan hati Allah, Yehuda kemudian dipimpin oleh Hizkia, yang hidupnya berbeda jauh dibandingkan dengan hidup ayahnya, Ahas. Hizkia hidup dengan menyenangkan hati Tuhan.

Berbeda dengan Ahas, kita dapat melihat kasih Hizkia kepada Allah melalui perhatiannya pada bait Allah. Ahas telah menutup bait Allah (6-7) dan mendirikan pusat penyembahan kepada Allah lain di tanah itu

(28:24-25). Namun Hiz-kia membuka kembali bait itu dan memperbaikinya agar bisa digunakan sebagaimana mestinya (3, 5). Sebagai raja, ia ingin bangsanya kembali kepada Allah (10). Maka hal berikut yang dia lakukan adalah memerintahkan kaum Lewi untuk melakukan pentahiran bait Allah, termasuk perkakas yang dibuang pada masa pemerintahan Raja Ahas (11-18). Lalu ibadah pun dimulai. Korban bakaran dipersembahkan di atas mez-bah (24) dan puji-pujian bagi Tuhan dilantunkan (29-30). Semua rakyat bersukacita atas apa yang terjadi saat itu (36).

Sungguh besar pengaruh Raja Hizkia sehingga terjadi perubahan radikal dalam kehidupan rakyat. Bila sebelumnya rakyat berbalik dari Allah, kini rakyat kembali kepada Allah. Rakyat serta para pemimpin kota, para imam dan kaum Lewi, semuanya bergerak seiring dengan pembaruan yang Hizkia sedang kerjakan.

Kita tentu senang bila memiliki pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas. Visi dan misi yang mengarah pada suatu perubahan yang membawa pembaruan. Pembaruan untuk meninggalkan keterpurukan iman, untuk mencelikkan mata hati yang buta, yang mendorong hati untuk terbuka pada kasih dan karya Allah. Kita perlu berdoa agar bangkit pemimpin-pemimpin yang demikian di lingkungan gereja dan masyarakat kita. Kita pun perlu mempersiapkan orang-orang muda agar suatu saat kelak mereka menjadi pemimpin, yang bukan hanya ingin dihormati, tetapi yang melayani.

Meniru teladan (2 Tawarikh 27:1-9)

"Orang yang bijak adalah orang yang berhati-hati dan menjauhi kejahatan..." demikian kata penulis Amsal (Ams. 14:16). Maka dapat dikatakan bahwa Yotam termasuk orang bijak, sebab ia tahu membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Yang tidak benar harus dijauhi.

Uzia, ayah Yotam, adalah raja yang dapat disebut berhasil dalam kepemimpinannya. Ketika memerintah saat berusia dua puluh lima tahun, Yotam meneruskan apa yang telah dilakukan ayahnya, yang menurut catatan Alkitab, benar di mata Tuhan (2). Sama seperti ayahnya telah meniru teladan dari kakek Yotam, yaitu Amazia (2Taw. 26:4). Banyak hal yang Yotam lakukan dalam masa pemerintahannya (3-5). Alkitab

mencatat bahwa semua itu terjadi karena Yotam setia dan taat kepada Allahnya (6). Meski demikian, Yotam cukup kritis sehingga tidak menelan bulat-bulat apa yang dia lihat dalam hidup ayahnya. Dari bacaan kemarin, kita tahu bahwa Uzia, ayah Yotam, telah melakukan hal yang tidak disukai Tuhan. Setelah berhasil sebagai raja, Uzia merasa berhak masuk ke Bait Allah dan melakukan tugas imam. Padahal Tuhan mengkhususkan tugas itu hanya bagi para imam keturunan Harun (2Taw. 26:16). Maka dalam hal ini, Yotam menunjukkan perubahan dan kemajuan. Kita memang perlu bersikap kritis dalam mempelajari hidup seseorang, karena tak seorang pun yang sempurna. Yang patut menjadi cerminan kita hanyalah Kristus, Tuhan kita. Dialah yang sempurna dan mulia.

Namun sayang, dalam gambaran yang nyaris sempurna sebagai seorang raja, Yotam belum berhasil memengaruhi rakyatnya untuk hidup takut akan Tuhan sama seperti dirinya (2). Mereka tidak meniru teladan Yotam, raja mereka. Kita memang tidak bisa menyalahkan Yotam, sebab mungkin saja ia pernah berusaha melakukan pembaruan, tetapi rakyat berkeras hati dan tak mau bertobat. Ini menjadi catatan bagi kita, bahwa bisa saja orang yang kita bimbing tidak mengikuti teladan kita. Namun jangan sampai kita tawar hati, apa lagi mundur. Kita harus setia mendoakan mereka.